Tuesday, June 16, 2009

Situs Sumur Bandung


Pada hari Minggu pagi beberapa bulan yang lalu , saya sekeluarga untuk pertama kalinya mengunjungi salah satu situs yang sangat berkaitan erat dengan kelahiran kota Bandung, Sumur Bandung!

Tidak banyak orang tahu, salah satu tempat di pelataran parkir gedung pertemuan Sumur Bandung yang terletak di sisi barat sungai Cikapundung terdapat sumur yang dinamakan Sumur Bandung. Bentuknya sama dengan sumur-sumur pada umumnya, kecuali perlakuan yang diberikan keramat.

Bagian atas sumur tersebut diberi cungkup penutup dan dikelilingi rantai pembatas.




Pada salah satu sisinya terdapat prasasti bertuliskan:



“Sumur Bandung Mere Karahayuan ka Rahayat Bandung
Sumur Bandung Mere karahayuan ka Dayeuh Bandung
Sumur Bandung Kahayuning Dayeuh Bandung
Ayana di Gedung PLN Bandung.”
Bandung 25 Mei 1811
Raden Adipati Wiranata Kusumah II

Dari berbagai sumber yang saya baca, Sumur Bandung dipercaya memiliki hubungan sejarah dengan berdirinya Kota Bandung.

Salah satu versinya adalah sebagai berikut: dikisahkan sebelum menemukan tempat yang cocok dijadikan ibu kota yang baru, bupati dan rombongan menyusuri Sungai Cikapundung lalu beristirahat di salah satu tempat yang letaknya di sisi barat sungai tersebut. Pandangannya diarahkan ke segala penjuru, meneliti kalau-kalau terdapat tempat yang diinginkan. Ketika ia menancapkan tongkatnya, tiba-tiba dari lubang kecil bekas tongkat tersebut keluar air yang sangat bening.

Tepat di lokasi mata air tersebut kemudian dibuatkan sumur dan kemudian dinamakan Sumur Bandung.

Pada tahun 1930-an, diatas tanah seluas 3.945 m2 itu didirikan bangunan bertingkat langgam Indo-Europesch Architectural Stijl yang mengambil tema bentuk perahu lengkap dengan jendela-jendela bulat mirip tingkap dan menara mirip cerobong asap hasil rancangan C.P. Wolff Schoemaker. Setelah diresmikan pada tanggal 26 Oktober 1939, bangunan yang seolah-olah nampak mengambang dipinggiran sungai cikapundung yang mengalir didekatnya itu, kemudian ditempati N.V. Gebeo, Perusahaan Listrik Hindia Belanda.

Bekas gedung Gebeo yang kemudian dijadikan kantor PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jawa Barat itu, berada disudut pertigaan Jalan Asia-Afrika dengan jalan Cikapundung.



Gedung PLN ini walaupun memiliki arsitektur yang khas, memang tidak seterkenal Gedung Merdeka tempat konferensi Asia Afrika yang legendaris itu, padahal lokasinya sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh aliran sungai cikapundung dan Jalan Cikapundung. Pada ilustrasi gambar di atas, di sudut kanan gambar nampak berjejer deretang tiang bendera gedung Merdeka, hal ini menunjukkan betapa berdekatannya kedua gedung tersebut. (berhubung saya tidak punya stok foto Gd. PLN, saya menampilkan ilustrasi gambar gedung yang diambil dari Buku "Bandung Digambar Euy" terbitan Art Paper Publishing House- Bandung).

Sumur Bandung di lantai dasar Gedung PLN, airnya masih tetap bening dan tidak pernah kering walaupun Kota Bandung mengalami kemarau panjang.

Pada hari-hari tertentu, sumur ini banyak dikunjungi para penjiarah yang datang dari Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat. Bahkan ada yang berasal dari Jawa Tengah dan Sumatera.



Pada saat kami mengunjungi sumur Bandung, suasananya sepi tidak ada aktivitas khusus berkaitan dengan sumur tersebut.

Kami ditawari untuk mencoba air sumur Bandung “Mau ambil airnya Pak?”, Tanya satpam gedung, saya menolaknya secara halus, saya hanya ingin mengajak istri, anak dan orang tua saya untuk mengenal situs bersejarah yang tidak banyak orang mengenalnya.

Monday, June 15, 2009

Segarnya Wedang Secang

Resep wedang secang ini saya dapat dari pameran flora dan fauna di lapangan Banteng Jakarta kalau tidak salah sekitar tahun 2004 lalu (biasanya pameran flora dan fauna diselenggarakan setiap bulan Agustus).

Resepnya ditulis dalam selembar kertas warna hijau dan dikemas dalam plastik dengan beberapa rempah-rempah seperti; kayu secang, Cabe Jawa, Kemukus, Kapulaga, Cengkeh, kayu manis, sereh dan jahe. Konon wedang secang merupakan ramuan tradisional yang dapat menyegarkan tubuh hehehe.

Resep itu sekarang sudah hilang, namun untuk sekedar melepas kangen, saya sering mencobanya (dan kadang-kadang juga saya bikin saat tamu keluarga datang ke rumah).
Bahan wedang secang mudah di dapat. Saya membelinya di Pasar Jatinegara.

Resepnya mudah diingat, hampir semuanya serba lima dan satu;

1. Lima biji Cabe Jawa
2. Lima biji Kemukus
3. Lima biji Kapulaga
4. Lima biji cengkeh
5. Satu ruas jari jahe
6. Satu potong kayu manis secukupnya
7. Satu jumput kayu secang secukupnya
8. 3 s.d. 5 gelas air putih (bergantung selera kepekatan ramuan), saya lebih menyukai 5 gelas.



Kesemua bahan tersebut dicuci bersih dan tiriskan (kecuali air, sebaiknya air tidak usah dicuci dan ditiriskan ya hehehe). Sebenarnya masih ada satu bahan lagi yaitu sereh, tetapi saya jarang menggunakannya.

Rebus seluruh bahan hingga mendidih. Agar sari atau zat-zat yang terkandung dalam rempah-rempah tersebut keluar secara maksimal, gunakan api kecil. Tunggu hingga mendidih dan aroma harum tercium oleh kita.

Wedang secang ini warnanya merah, warna merah ini berasal dari kayu secang.

Untuk merebusnya, sebaiknya gunakan alat perebus yang terbuat dari gerabah, saya punya dua gerabah 1 yang besar khusus untuk merebus jamu dan 1nya lagi yang lebih kecil untuk membuat wedang secang.

Gerabah yang sering saya gunakan untuk membuat wedang secang semakin lama semakin harum, mungkin ini salah satu keunggulan dari gerabah yang cenderung menyimpan aroma.



Wedang secang bisa disajikan panas atau dingin. Untuk pemanis rasa, kita bisa menggunakan gula batu, gula putih atau bisa juga madu. Saya menggunakan madu. Gula batu, gula putih atau madu tidak turut direbus, tetapi dicampur tersendiri dalam gelas.

jika dinikmati siang atau sore tambahkan Es batu, kesegaran alami bakal kita dapatkan, wah… jadi pengen bikin wedang secang lagi nih.

Sunday, June 14, 2009

Sentra Pembuatan Angklung Udjo
















Saung Angklung Udjo!

Itu yang pertama kali terbetik dalam benak saya saat memutuskan untuk membeli seperangkat angklung set kecil dua oktaf.

Ya, Saung Angklung Udjo Jalan Padasuka 118 Bandung, selain berperan sebagai tempat kunjungan budaya dan wisata khas daerah Jawa Barat juga merupakan sentra produksi alat musik tradisional yang sebagian besar berbahan baku bambu seperti angklung, arumba, dan calung.

Ada 3 jenis bambu yang menjadi Bahan dasar angklung seperti; bambu hitam (awi wulung) untuk tabung suara, bambu tali (awi tali) untuk tabung rangka, dan bambu gombong (awi gombong) untuk rangka angklung sedangkan pengikat rangka adalah tali berbahan rotan. Semua bahan baku pembuatan angklung didatangkan dari daerah lain di Jawa Barat seperti Sukabumi.



Angklung mini 2 oktaf yang saya pesan disebut juga sebagai angklung TK (Taman Kanak-Kanak) terdiri dari 18 pcs Nada mulai dari F-g-a-ais-b-c’-d’-e’-f’-fis-g’-a-ais’-b-c’’d’’-e’’-f’’. Harganya berkisar Rp. 354.000,- lengkap dengan tiang/standnya.

Disebut angklung TK karena angklung ini berset kecil dan banyak dipesan oleh Taman Kanak-Kanak sebagai alat pembantu pengenalan musik secara dini.

Karena ditujukan untuk anak TK dan untuk alasan keamanan, maka rangka bambu angklung yang menjulang ke atas ditutup. “Bisi Kacolok Panonna ceunah” takut tertusuk matanya katanya.

Mengunjungi sentra pembuatan angklung Udjo di Padasuka Bandung memberikan pengalaman tersendiri bagi kami. Kami jadi tahu bahwa seluruh tahap pembuatan angklung murni menggunakan tenaga manusia (hand made), untuk akurasi nada, Saung Angklung Udjo menggunakan tuner elektronik dan untuk menghindari ketidakseimbangan nada, sebelum diserahkan kepada konsumen, angklung di retuning .

Begitu pula dengan angklung pesanan kami, setelah diretuning angklung dibersihkan kembali dan di pernis transparan agar lebih awet, seperti tampak pada foto di bawah ini.



Yang lebih mengesankan lagi, guna menghindari kecacatan dalam proses pengepakan yang berpengaruh pada nada angklung itu sendiri, Saung Angklung Udjo saat mengepak angklung memperlakukan angklung dengan sangat hati-hati.



Sambil melihat-lihat suasana di sekitar Saung Angklung Udjo yang asri, saya sempat mencoba Jenis angklung pentatonik, nada nya salendro yaitu nada asli angklung Sunda yang terdiri dari Da- Mi- Na- Ti- La-Da, sangat mengharukan, sedangkan Jenis angklung yang saya beli adalah angklung dengan laras nada diatonik. Angklung berlaras diatonik diciptakan oleh Bapak Daeng Soetigna (Alm) pada tahun 1938. Angklung dengan laras diatonik ini disebut juga dengan angklung Do Re Mi atau angklung Padaeng. Angklung jenis diatonik inilah yang bisa digunakan untuk membawakan lagu daerah, nasional dan bahkan internasional.

Saya memilih angklung sebagai alat musik dirumah karena sifat angklung yang 5M; Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Masal.

Kami sekeluarga puas dengan kualitas angklung buatan Saung Angklung Udjo.

Thursday, June 11, 2009

I Scream for Ice Cream

Bulan Mei lalu Silmi, anak saya yang masih duduk di bangku TK merengek minta es krim. “itu lho Pak es krim yang enak di campur-campur pake jeli, permen coklat sama caramel”

“Ayo dong Pak, Bu, ke Bandung!” rengek Silmi.

Ini merupakan rengekan yang kesekian kalinya di bulan Mei, kayaknya Silmi mulai cocok dengan motto Plang Toko Es Krim di Jalan Hariangbanga ini Hehehe.


Sebelumnya kami sekeluarga memang pernah mengunjungi toko es krim ini, kami direkomendasikan oleh teman sekantor untuk mampir dan mencoba es krim marble salah satu produk andalan “I Scream for Ice Cream” , hasilnya… ya itu tadi, pengen lagi dan lagi.

Untuk mencegah terjadinya jeritan histeris berkepanjangan demi semangkok es krim, akhirnya kami putuskan untuk segera ke Bandung.

Perjalanan Bekasi Bandung ditempuh 1 jam setengah. Sesampai di Bandung kami menyempatkan diri untuk menjemput nenek Silmi dan langsung menuju ke Hariangbanga.

Secara keseluruhan toko ini cukup asri dan nyaman, terletak di Bandung utara dekat dengan kampus Unisba dan Jalan layang Paspati Bandung, lokasinya cukup sepi dan jalannya tidak terlalu besar. Tokonya sendiri merupakan bangunan tempat tinggal peninggalan jaman Belanda tempo dulu yang disulap jadi gerai es krim.

Kursi tua, meja marmer dan lantai teraso warna kuning bermotif memberikan asmosfir kental nostalgia tempo dulu.


Eskrim marble plus toping jeli, permen coklat, kacang, karamel dan sebagainya langsung kami pesan.

Dan kurang lebih seperti inilah pesanan es krim marble kami diolah di atas marmer beku berselimut bunga es;




setelah eskrim pilihan kami (es krim coklat) dituang ke atas meja marmer beku, toping jeli, permen warna-warni isi coklat, karamel dan kacang dicampurkan dengan es krim dan diolah dengan terampil. Sungguh atraksi kuliner yang menarik.






Beberapa saat kemudian, es krim marble pun siap untuk disantap dan emang enak untuk dinikmati bersama.

Secara umum Pengunjung I Scream for Ice Cream tidak terlalu ramai, namun pada waktu2tertentu biasanya datang rombongan yang memang berniat untuk mampir berwisata kuliner di Kota Bandung. Mau Mencoba?

Praktek Teknik Membalik Piring di Jalan Tol

Ini bukan kisah tentang teknik menari Tari Piring di jalan tol, ini kisah tentang teknik menghadapi keadaan dalam situasi tertentu.

Dulu sewaktu masih berstatus mahasiswa sekitar tahun tahun 90 an saya pernah membaca tulisan dalam sebuah buku yang judul dan pengarangnya lupa. Yang saya ingat tulisan di buku tersebut memaparkan sebuah teknik mengubah sikap yang disebut dengan “Teknik Membalik Piring”

Teknik ini intinya mengajak kita untuk selalu berpikir positif. Ibarat sebuah piring yang memiliki permukaan positif dan negatif, apabila permukaan negatif yang terlihat, maka baliklah piring tersebut sehingga permukaan positifnya yang terlihat.
Baru-baru ini saya pernah mempraktekannya;

Terjebak dalam kemacetan di jalan tol. Tol macet total karena ada tabrakan beruntun antara bus dan beberapa buah sedan. Bus melintang sehingga tidak ada satu mobilpun yang bisa melaluinya. Diperlukan beberapa jam untuk bisa mengevakuasi bus agar aliran kendaraan bisa berjalan normal.

Mengikuti teknik membalik piring, saya mencoba untuk bersikap sebagai berikut ;
Pertama; adalah suatu hal yang wajar kalau kita ngomel, kesel, mengumpat petugas evakuasi yang lambat, dan menyesali absensi yang terlambat, dan ini sangat menguras energi kita, tetapi percayalah, semua itu tidak akan mengubah kondisi yang ada (kalau omelan itu bisa mengakibatkan bus melintang itu menjadi tidak melintang, saya sih merekomendasikan agar semua pengendara mengomel bersama aja di jalan tol hehehe).

Mengikuti teknik membalik piring, inilah saatnya yang tepat untuk membalikkan keaadaan, ibarat sebuah piring, balikkanlah permukaan Piring omelan ke permukaan Piring syukur. Daripada ngomel saya lebih memilih bersyukur. Bersyukur karena saya selamat dan tidak mengalami peristiwa yang mereka alami, bersyukur karena saya bisa parkir dan beristirahat lebih lama di jalan tol dengan biaya yang sama, bersyukur karena saya bisa menikmati satu buah judul film dvd yang saya bawa sampai tuntas di dalam mobil, dan segudang syukur lainnya yang dapat menghasilkan energi positif.

Begitu pula dengan permukaan piring kesal, saya balikkan permukaan kesal ke permukaan piring bahagia, saya lebih memilih untuk merasakan kebahagiaan berhenti total di jalan tol tanpa ada yang memarahi anggaplah ini suatu kesempatan yang sangat jarang didapat, rasakanlah kebahagiaan saat tidak melakukan aktifitas apapun di jalan tol bersama pengendara mobil lainnya, dan terakhir saya balikkan piring umpatan kepada petugas yang lambat melakukan evakuasi menjadi do’a yang lebih menenangkan dan bermanfaat secara spiritual. Yah begitulah, saya berusaha menikmati semaksimal mungkin keadaan tersebut secara positif.

Nah itu kalau di jalan tol. Terus kalau kita nyasar di jalanan suatu kota? Kecewa itu normal begitu tutur buku tersebut, tapi akan lebih asyik lagi kalau kita balik piring kekecewaan itu menjadi piring syukur, syukurilah bahwa kita bisa menelusuri jalan yang sama sekali belum kita kunjungi, siapa tahu ada tempat menarik yang dapat kita kunjungi hehehe.
Lantas kenapa saya menulis hal tersebut diatas?

Ini bermula dari buku yang baru saja saya beli di emperan masjid dekat kantor. Sepulang Jum’atan, saya tertarik dengan judul Buku “Spirit of Success- Kisah Sukses di masa Krisis- teleseminar terlaris #1” karangan Brian Tracy.

“Kabar baik adalah kabar buruk yang dapat diubah menjadi kabar baik sewaktu Anda mengubah sikap!”

Begitu salah satu tulisan dalam buku tersebut. Ilustrasi yang disampaikan sangat menyentuh, intinya menceritakan tentang seorang prajurit penerjun payung yang kehilangan tangannya karena kecelakaan sewaktu menjalani latihan pada perang dunia II. Dari pada merenungi tangannya yang hilang, ia lebih berkonsentrasi pada tangannya yang masih ada dan mengubah pandangan atau sikap sesuai dengan keadaan barunya dan mulai menetapkan tujuan hidup baru. Hasilnya? Ia berhasil mendapatkan peran penting dalam film “The Best Years of Our Lives”, dan menikmati karirnya sebagai bintang film Hollywood, memenangkan dua penghargaan, dan menulis otobiografi.

Diakhir tulisan Bryan Tracy menulis:
“orang yang selalu ‘berpikir di puncak’ memilih lebih memperhatikan apa yang di punyai, sementara ‘dunia bawah’ memperhatikan kepada apa yang tidak dipunyai. Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan, kemampuan yang anda miliki , dan bekerja keraslah untuk mencapai cita-cita.

Rupanya teknik membalik piring saja belum cukup masih ada sikap lain yang dapat memberikan hal positif, saya diingatkan untuk harus lebih bersyukur lagi dengan apa yang telah saya miliki, terimakasih Bryan Tracy…

Note: buku ini harganya sangat murah, cuma Rp. 15.000,- maklum beli di emperan jalan. Tapi kondisi buku yang semula mulus dan bersih, saat ini udah mulai keriting, maklum sering dibaca sambil tiduran ampe tidur beneran... keriting dah tuh buku kelindes yang lagi mimpi hehehe.

Friday, January 16, 2009

LEARN

Tulisan ini mengajak saya untuk belajar cara belajar, disarikan dari tulisan Vincent Friedmand dalam bukunya Seeds of Success.

Learn!

Look for
Explore
Act
Repetition
Neutral State

1. Look for (carilah) tingkat-tingkat yang ada di bawah permukaan. Cara terbaik untuk mencapai tingkat pemahaman yang paling dalam terhadap pokok permasalahan adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Lipatgandakan berbagai sumber daya kita. Bacalah buku, dengarkan audiotape, bukalah internet, pelajari biografi orang-orang yang telah mencapai kesuksesan sebelumnya dalam bidang tertentu, dan carilah mentor-mentor yang dapat membantu kita. Semakin beragam sumber informasi kita, semakin banyak tingkat-tingkat pokok persoalan yang dapat kita kuak. Saat kita memanfaatkan berbagai sumber yang telah kita kuak, sumber-sumber tersebut akan saling terbangun satu di atas yang lain untuk memberi kita jawaban yang lebih baik.

2. Explore (galilah) berbagai keterampilan dan hobi baru. Jangan menjauhkan diri karena kita berkata, “aku tidak dapat melakukannya.” Berilah kesempatan pada diri kita sendiri untuk mencoba berbagai keterampilan dan hobi baru. Dan kita akan terheran-heran pada segala sesuatu yang dapat kita pelajari. semakin banyak organisasi yang kita ikuti, semakin banyak orang yang akan kita temui, semakin banyak resiko yang kita ambil, semakin luas cakrawala yang terbuka bagi kita, dan semakin banyak kita belajar tentang diri kita sendiri dan dunia tempat kita hidup.

3. Act (bertindaklah). Ada dua jalan tindakan; langkah demi langkah, dan terjun sekalian. Keduanya benar. Jika proyeknya besar, maka cara terbaik untuk melakukannya adalah membagi-baginya menjadi langkah-langkah kecil, mempelajari bagaimana caranya melakukan satu langkah pada satu waktu, dan kemudian menyatukan seluruh proyek tersebut pada akhirnya. Bila dilakukan dengan jarak satu kilometer itu merupakan cobaan berat, dengan jarak satu hasta itu sulit, maka dengan jarak satu inci, itu pasti dapat dilakukan dengan mudah. Sebaliknya, ada saat ketika terjun langsung dalam suatu proyek, meskipun kita tidak siap 100 persen, justru lebih efektif. Kadang persoalan tampak begitu besar di hadapan kita. Kita menunda mengambil tindakan karena kita ingin memahami persoalan tersebut secara utuh dan tahu bahwa kita telah menganalisis setiap kemungkinan solusi. Namun demikian, menjelang saat itu, persoalan itu telah menenggelamkan kita sepenuhnya. Cara yang terbaik adalah langsung bertindak dan terus bertindak, sampai kita tampil dengan solusi yang lebih baik. Terus menerus belajar dan terus menerus bertindak. Kedua-duanya adalah sama, keduanya diperlukan. Kita belajar dari tindakan-tindakan kita, kita bertindak dari apa yang kita pelajari.

4. Repetition (mengulanglah). Agar dapat menyempurnakan suatu keterampilan, kita harus praktek. Kita harus mengulang suatu tindakan sampai tindakan tersebut menjadi sifat yang kedua. Semakin banyak kita praktek, semakin dalam keterampilan tersebut tertanam dlam diri kita. Bila itu yang terjadi, maka itu akan menajdi landasan bagi kita untuk membangun keterampilan-keterampilan yang lain. Begitu kita sampai pada suatu titik dimana kita dapat mengambil tindakan tanpa berpikir, kita siap belajar langkah berikutnya.

5. Neutral state (bukalah pikiran dengan netral) Filsuf Perancis Bacon pernah berkata, “Jika seseorang memulai dengan ketidakpastian, dia akan berakhir dengan keraguan, tetapi jika dia puas untuk memulai dengan keraguan, dia akan berakhir dengan kepastian.” Satu-satunya cara untuk belajar adalah dengan pikiran terbuka, dari sudut pandang yang netral. Dengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, tetapi jangan beranggapan bahwa apa yang mereka katakana kepada kita merupakan satu-satunya cara. Selalu bukalah pikiran kita, jangan biarkan segala stereotype atau gagasan-gagasan yang kita peroleh sebelumnya menghalangi kita untuk menerima informasi yang baru. Lihatlah pada semua sisi suatu topik sebelum kita membulatkan pikiran kita. Jangan berasumsi bahwa seseorang benar sebelum kita mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain.
Kisah berikut dapat dijadikan bahan renungan;
Dua orang yang sedang bertikai mendatangi seorang hakim. Orang yang pertama menuturkan ceritanya. Kata hakim, “itu benar.” Lawannya, yang merasa terganggu dengan opini tersebut berkata,”Tuan belum mendengarkan sisi cerita saya.” Dia menuturkan ceritanya dan hakim pun menjawab, “Itu benar.” Orang yang ketiga berkata, “Bagaimana keduanya bisa benar?” Hakim berpikir tentang komentar orang yang ketiga dan katanya, “Itu benar.” (cerita ini dikutip olehVincent Friedman dari Ellen J. Langer, The Power of Mindful Learning).

Thursday, January 15, 2009

Tak ada yang Dikerjakan dan Semua Orang Dipenuhi

Malam hari saat hujan deras mengguyur kota Bekasi dan sekitarnya, saya tergerak untuk membaca sebuah buku yang sudah bertahun-tahun dibeli dan tidak disentuh “Tao Kehidupan - Tao Te Ching- ajaran Lao Tzu yang Diadaptasi untuk Zaman Baru”, ditulis oleh Ray Grigg, seorang sarjana Tao yang telah lebih dari duapuluh tahun menjadi guru sejarah literature Inggris, kesenian, sejarah kebudayaan, dan agama-agama dunia di sistim sekolah menengah atas di British Columbia.

Saya sendiri bingung, mengapa saya dulu membeli buku seperti ini. Saya mencoba membuka lembaran-lembaran memori yang terekam dalam ingatan, hasilnya? Saya jadi tersenyum geli, beli dengan tujuan ingin menjadikan buku ini sebagai bahan renungan harian.

Saya ingat, hari pertama membaca, saya langsung pusing tujuh keliling. Saya sepertinya capek untuk memahami apa yang harus dipahami, lelah merenungkan apa yang harus direnungkan, saya malah seperti ditonjok beban baru yang seharusnya tidak harus menjadi beban. Saya ambil jalan pintas. Hentikan Baca Buku ini! Toh tidak membaca buku inipun kehidupan tetap berjalan hehehe.

Lantas kenapa malam ini saya kembali tergerak untuk mencomot buku ini dan membacanya? Bukankah Cuma nambah-nambah kepusingan saja? Entahlah, yang saya tahu, saya kembali tersenyum, saat membaca sebait kalimat Pendahuluan dalam buku ini yang menuturkan bahwa;

TAO KEHIDUPAN: Buku Panduan Berpikir dan Berbuat diperuntukkan bagi semua orang yang tahu bahwa mereka tidak tahu. Ini adalah buku panduan yang tidak mungkin tuntas. Tidak seperti berpikir dan Berbuat di sekolah dasar, buku ini memuat pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab dan jawaban-jawaban yang tidak dapat diberikan. Kita harus mengoreksinya sendiri.”

suatu penuturan yang membingungkan… selanjutnya saya meloncat keparagraf yang kira-kira menjelaskan kenapa bisa membingungkan.

Sifat Tao Te Ching yang membingungkan pada dasarnya adalah karena kesadaran Lao Tzu bahwa kita memahami kehidupan dengan secara langsung mengalaminya, bukan dengan berusaha memahaminya sebagai pengamat yang tidak langsung terlibat. Kita tidak mungkin lepas dari diri sendiri. Kalau menggunakan bahasa perlambang Zen, sebuah pedang tidak mungkin melukai dirinya sendiri. Kitapun tak mungkin memahami kehidupan lewat seperangkat rancang bangun intelektual; kehidupan itu lebih besar dan lebih tak terjangkau daripada sistim-sistim yang kita ciptakan untuk menjelaskannya. Maka kita takkan pernah sungguh-sungguh memahami diri sendiri maupun alam semesta dimana kita hidup. Tao adalah kebebasan yang muncul bersamaan dengan ketidak-pahaman.”

Malam semakin larut, Hujan deras yang baru saja reda kini kembali turun deras, suatu tipikal hujan yang sudah berlangsung sejak 12 Januari 2009, deras, reda, deras, reda.

Saya tidak melanjutkan membaca penuturan pendahuluan penulis buku yang mungkin merupakan kunci didalam membaca bab-bab berikutnya yang berjumlah 81 bab.

Saya hanya ingin berbagi , bab-bab dalam buku ini ditulis secara singkat, beginilah kira-kira bunyi tulisan salah Satu Bab yang ada dalam buku bersampul hijau ini bertutur:

17. Tak Ada yang Dikerjakan
Cobalah memimpin dengan memaksa, maka akan ada perlawanan serta pemberontakan. Bersikaplah murah hati dan adil, maka akan ada kehormatan lalu kepercayaan.
Tetapi lebih tinggi lagi adalah kebajikan yang tidak kelihatan, tak dapat didefinisikan dan tak dapat dikenali. Kalau dipraktekkan, segalanya tetap utuh. Tak ada keterpisahan dari satu sama lain, upaya dari kemudahan, kerja dari bermain. Tak seorangpun memimpin dan tak seorangpun mengikuti. Tak ada yang dipelihara tetapi ada kesibukan dan keharmonisan.
Orang bijak, yang tidak menonjolkan diri dan tidak banyak bicara, tidak diperhatikan orang. Tetapi entah bagaimana, semua orang memetik manfaat. Ada pertumbuhan serta keberbuahan, kebanggaan serta kecukupan diri. Ketimbang mengatakan “ini dikerjakan oleh Kami”, semua mengatakan , “Kami yang mengerjakan ini”. Ketimbang mengatakan , “Kami diajarkan begini”, semua orang mengatakan , “Kami belajar begini”. Kalau dianggap sebagai orang sendiri, tak mungkin ada penolakan. Tanpa penolakan takkan ada pemberontakan. Tanpa pemberontakan akan ada kedamaian serta pemupukan yang mendalam.
Bahkan sedari mula tak pernah ada saat ketika segalanya tidak sibuk memenuhi dirinya sendiri. Orang bijak tidak menghalangi apa yang sudah ada sedari dulu. Demikianlah tak ada yang dikerjakan dan semua orang dipenuhi”.


Dan setelah membaca bab 17 ini, saya tetap kebingungan hehehe...

Thursday, January 8, 2009

Kurang Pengalaman? Carilah!

Saya sering mendapat telepon penawaran produk dari beberapa bank dan asuransi secara bertubi-tubi, walaupun sering saya tolak, mereka tetap menelepon dihari-hari berikutnya. Benar-benar gigih dan tekun, kondisi ini mengajarkan saya untuk bersabar menerima telepon mereka dan menolaknya.

Berikut ini kisah lain tentang ketekunan dalam menghadapi penolakan! Walaupun dapat sangat mengganggu orang lain, tetapi dapat juga memberikan imbalan yang sangat besar.

Berikut kisahnya :

Walaupun Bob diterima di Harvad law School, ia lebih memilih jurnalisme sebagai jalan hidupnya, ia ingin bekerja di Washington Post. Sayangnya Editor di Koran itu tidak tertarik menyewa seseorang dengan pengalaman yang begitu sedikit. Akan tetapi, Bob meyakinkan sang Editor untuk mempekerjakan dirinya selama dua minggu tanpa bayaran hanya untuk melihat apa yang dapat ia lakukan.

Di akhir minggu ke dua, tidak ada satu pun berita Bob yang naik cetak. Sang Editor merasa Bob adalah orang yang cerdas tetapi kurang pengalaman untuk menjadi jurnalis. Ia mengatakan pada Bob bahwa akan butuh banyak energi untuk melatihnya. Ia menyarankan Bob untuk mencari pengalaman dan datang lagi setahun kemudian.

Bob melakukan itu. Ia mengambil pekerjaan di saingan Washington Post, dan tidak lama kemudian, mulai melompat ke berita, mengalahkan wartawan Washington Post.

Setelah beberapa bulan, Bob mulai menelepon Washington Post lagi, tetapi sang Editor tidak bersedia menerima teleponnya. Bob menemukan nomor telepon rumah sang Editor dan meneleponnya pagi-pagi di hari Sabtu. Saat sang Editor mengeluh pada istrinya bahwa ia lelah menghadapi editor muda yang mengganggunya. Istrinya merespons, “bukankah orang semacam itu yang kamu selalu bilang kamu cari?”

Sang editor akhirnya setuju dan mempekerjakan Bob.

Kisah di atas adalah kisah dari Bob Woodward, jurnalis terkenal kelas dunia dan penulis yang menulis berita skandal Watergate, yang menyebabkan pengunduran diri Presiden Richard Nixon.

(dikutip dari buku Keberuntungan Bukanlah Kebetulan Karya John D. Krumboltz, Ph.D. dan Al S. Levin, Ed.D.)

Tuesday, January 6, 2009

Semangat yang tak Kunjung Padam

Setelah puas keliling museum di kota tua Jakarta, malamnya kami menyempatkan diri untuk nonton pagelaran wayang orang di Gedung Wayang Orang Bharata Jalan Kalilio No. 1 Senen.

Diluar gedung nampak mobil sudah banyak yang parkir, beruntung saya mendapat posisi parkir yang strategis, tidak terlalu jauh dengan pintu masuk gedung pertunjukan. Di depan pintu masuk, terpampang Lakon Wayang yang akan digelar malam itu “Bambang Pramusinta”. Saya tidak terlalu memikirkan lakon pagelaran, yang penting nonton.

Ini kali pertama kami sekeluarga nonton pagelaran wayang secara life, saya sedikit berjuang untuk bisa menembus kerumunan orang yang berjubel membeli tiket. Semula kami menyangka tiket yang ditawarkan berkisar seratus ribuan rupiah, maklum biaya operasional sebuah pagelaran yang melibatkan banyak orang pastilah membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Ternyata, ya ampun… tiketnya hanya Duapuluh ribu rupiah!!!

Setelah menyerahkan tiket pada petugas, kami memasuki ruang pertunjukan berkapasitas 280 orang dengan sukacita. Panggung masih ditutupi tirai merah menjuntai.



Gamelan mengalun lembut melantunkan tembang jawa, menyambut kedatangan penonton yang sangat antusias.

Kami duduk di deretan bangku belakang berpencar dalam 3 kelompok, sulit bagi kami mendapat tiket dalam satu deret kursi, maklum penontonnya full house. kursi di deretan depan dan tengah sudah sesak oleh penonton yang sebagian besar orang tua yang mengajak anak-anak dan cucunya.

Beberapa orang terlihat masih sibuk menata posisi duduk yang nyaman. Anak sulung saya yang masih kelas 5 SD duduk dideretan bangku paling belakang sederet dengan saudara sepupunya yang hampir sebaya beserta pakde dan mbak yang membantu di rumah, saya beserta istri di deretan depannya, sedangkan anak bungsu saya yang masih TK B di depan saya sederet dengan eyang dan nenek beserta tantenya.

Pukul 20.30. acara dibuka oleh sekelompok wanita yang menari dengan anggun, dan pagelaranpun dimulai.

Walaupun tidak mengerti secara keseluruhan jalannya cerita, ada kenikmatan tersendiri bisa nonton wayang orang secara life. Saya begitu menikmati setiap gerakan penari yang begitu professional menyuguhkan kemampuannya didalam mementaskan adegan peradegan. Anak saya yang TK juga menyimak adegan per adegan bahkan sesekali terlihat bertanya pada kedua eyang yang duduk disamping kiri kanannya.

suasana berubah penuh gelak tawa ketika punakawan mulai beraksi. walau tidak begitu paham dengan bahasanya, anak saya ikut ketawa melihat aksi kocak mereka.



Selama pertunjukan, penonton bebas untuk makan dan minum, bahkan penjual nasi goreng di depan gedung dengan bebas berseliweran keluar masuk ruang pertunjukan sambil membawa nasi goreng dan minuman botol pesanan penonton. Suasana yang begitu merakyat dan mengharukan.



Seusai pertunjukan kedua anak saya mengomentari panjang lebar pementasan yang baru saja dilihatnya, eyangnya menceritakan secara garis besar mengenai jalannya cerita. Dari situ saya paham, betapa dalam makna filosofi yang terkandung didalamnya.

Saya kagum kepada Kelompok Wayang Orang Bharata, Siapa sangka di Jakarta yang terkenal dengan gemerlap hiburan malam, ternyata masih menyimpan permata kesenian tradisional wayang orang yang menjadi hiburan tiga generasi, mereka begitu bersemangat, tidak terpengaruh dengan masalah kecilnya pendapatan dari penjualan tiket murah yang jelas sulit untuk menutup biaya operasional (walaupun full house).

Salut kepada Kelompok Wayang Orang Bharata, saya berterimakasih kepada mereka, berkat semangat mereka yang tak kunjung padam, saya dan keluarga dapat menikmati permata warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, semoga tetap lestari…

Sunday, January 4, 2009

Historia Docet

Sabtu tanggal 3 Januari 2009, kami sekeluarga jalan-jalan ke kota tua Jakarta. Gedung pertama yang kami kunjungi adalah Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan terakhir Museum Wayang(kunjungan di museum terakhir ini pulalah yang membuat kami penasaran untuk nonton pagelaran Wayang Orang Bharata di Jalan Kalilio No. 1 Senen pada malam harinya).

Saat menelusuri kota tua, kami sempat mengambil gambar sebuah gedung berlantai dua di kawasan kota tua yang sudah tidak terawat.



Di atas salah satu jendela lantai dua gedung tersebut terdapat ornamen yang menyita perhatian saya.



Keesokan harinya, saya segera mengambil buku*) yang saya yakini memuat ornamen tersebut dan mencocokannya.

Ternyata ornamen tersebut adalah lambang Batavia, kota yang dulunya Jayakarta (VOC menyebutnya Jacatra ). Lambang ini ditetapkan pada 15 Agustus 1620



Lambang itu berupa perisai berwarna “oranye” campuran merah dan kuning, yang di tengahnya tergambar sebilah pedang. Pedang ini dilingkari sebuah “krans” dedaunan berwarna hijau kecoklatan, yang dua sisi bagian bawahnya dihiasi pita.

Pita ini sebenarnya baru muncul pada lambang Batavia yang tertera pada mata uang tahun 1643. Lambang Kota Batavia menggunakan semboyan Jan Pieterszoon Coon “Diespereert Niet”, jangan putus asa. Jan Pieterszoon Coen dua kali menjadi Gubernur Jenderal (1619-1623 dan 1627-1629).

Kendati lambang itu sekarang tidak dipakai lagi, namun seluk-beluk tentang lambang itu masih tetap menarik dan berguna untuk diketahui, setidak-tidaknya dalam kaitannya dengan sejarah negeri kita. “HISTORIA DOCET”, Sejarah itu Mengajar!

*)Buku dari Buku ke Buku sambung menyambung menjadi satu karya P.Swantoro, memuat Lambang-Lambang Kota Praja Hindia Belanda tahun 1930 an

Saturday, January 3, 2009

Seberapa Tua atau Seberapa Muda?

Ini kisah tentang seseorang yang sering mengeluh tentang usia. Didapat saat membaca buku Berpikir dan Berjiwa Besar karangan David J. Schwartz, Ph.D.

Keluhan ini merupakan penyakit kegagalan tidak pernah merasa di usia yang tepat. Penyakit ini muncul dalam dua bentuk yang mudah di identifikasi: variasi dari “saya terlalu tua”, dan tipe “saya terlalu muda”.

Penyakit ini tanpa disadari menutup pintu ke peluang sesungguhnya bagi jutaan manusia. Mereka berpikir bahwa usia mereka salah, sehingga mereka tidak mau mencoba.
Apakah penyakit ini bisa disembuhkan? Simak kisah di bawah ini:

Cecil, Seorang trainer, ingin beralih profesi menjadi representative perusahaan, tetapi ia berpikir terlalu tua. “Lagi pula”, dia menjelaskan, “saya harus memulai dari awal. Dan saya terlalu tua untuk itu saat ini. Saya sudah berusia 40 tahun”.

Beberapa kali sang konselor yang juga teman Cecil berbicara dengan Cecil tentang masalah “usia tuanya” sang konselor menggunakan obat lama, “Cecil, anda hanya setua yang anda rasakan”, namun sang konselor pun menyadari bahwa itu tidak akan berhasil (maklum terlalu sering ia pergunakan dan jawabannya selalu sama “Tapi saya merasa tua!”)

Akhirnya, sang konselor menemukan metode baru yang diyakininya bakal mujarab.

Suatu hari seusai sesi pelatihan, sang konselor mencoba metode barunya pada Cecil.
Sang konselor berkata,” Cecil, kapan kehidupan produktif seseorang dimulai?” dia berpikir beberapa detik dan menjawab, “oh, kurasa ketika kira-kira usia 20 tahun.”
“Baiklah,” kata sang konselor, “sekarang kapan kehidupan produktif seseorang berkahir?”
Cecil menjawab, “Hmm, jika dia masih sehat dan menyukai pekerjaannya, kurasa seseorang masih cukup berguna pada usia 70 tahun atau sekitar itu.”
“Baiklah,” sang konselor berkata, “Banyak orang sangat produktif setelah mencapai usia 70, tapi marilah kita sepakat dengan apa yang baru saja anda katakan, tahun-tahun produktif seorang adalah antara 20 sampai 70. Berarti terdapat rentang 50 tahun atau separuh abad. Cecil,” sang konselor berkata, “anda 40 tahun. Berapa tahun kehidupan produktif sudah anda lalui?”
“Dua puluh,” jawab Cecil
“Dan berapa tahun tersisa?”
Tiga puluh,” jawabnya.
“Dengan kata lain, Cecil, anda belum mencapai separuh perjalanan tersebut, anda baru menggunakan 40 persen dari tahun-tahun produktif anda.”

Sang konselor menatap Cecil dan menyadari bahwa Cecil mulai menangkap maksudnya.
Cecil tertawa bahagia, ia telah sembuh dari alasan usia. Cecil sadar bahwa ia masih mempunyai banyak sisa tahun-tahun berisi peluang. Dia beralih dari berpikir “saya sudah tua,” menjadi “saya masih muda.”

Sekarang Cecil menyadari bahwa seberapa tua kita tidak penting. Sikap terhadap usia lah yang membuat usia menjadi suatu berkah atau sebaliknya, sebuah hambatan.

Selamat Tahun Baru 2009!!!