Wednesday, April 21, 2010

Ajaran Kepemimpinan Asthabrata

Beberapa tahun yang lalu saya pernah mengunjungi Museum Purna Bhakti Pertiwi di Jalan Taman Mini I Jakarta. Museum ini bentuk bangunannya sangat unik, mirip nasi tumpeng! Bangunan yang arsitekturnya mirip nasi tumpeng ini konon -melambangkan rasa syukur, keselamatan dan keabadian-


 
Museum Purna Bhakti Pertiwi terdiri atas bangunan utama enam lantai. Tinggi bangunan utama sampai puncak ornamen lidah api berwarna keemasan di atas kerucut terbesar sekitar 45 meter. Sembilan kerucut kecil lainnya melingkari kerucut terbesar.

Ruang Utama diapit empat tumpengan warna kuning. Ruang terdepan adalah Ruang Perjuangan, dikitari Ruang Khusus, Ruang Asthabrata, dan Ruang Perpustakaan.

Di Ruang Utama tersimpan berbagai ragam cinderamata persembahan Tamu Negara RI, kenalan atau sahabat Presiden Soeharto. Selain itu, diruangan ini juga terdapat cinderamata persembahan tamu-tamu atau pejabat dalam negeri. Semua cinderamata tersimpan dalam kotak kaca. Diperlukan waktu berjam-jam untuk bisa menikmati seluruh koleksi museum.

Di ruang Asthabrata, terpampang 30 diorama yang memvisualisasikan adegan wayang kulit sesuai urutan cerita Wahyu Makutha Rama, delapan diantaranya berupa lukisan kaca yang berisi visualisasi asas kepemimpinan Asthabrata.

Asthabrata adalah ajaran kepemimpinan yang diilhami kebesaran dan keseimbangan sifat dan watak delapan unsur alam raya, yaitu : bumi, angin, laut, bulan, matahari, langit, api dan bintang. Asthabrata merupakan ilmu pengetahuan kepemimpinan yang dapat diuji kebenarannya dan bersifat universal.

Inti ajaran kepemimpinan Asthabrata yang terdapat dalam lakon Wahyu Sri Makutha Rama digali oleh pujangga bangsa Indonesia. Ajaran kepemimpinan Asthabrata mengandung makna dan arti yang sangat dalam, karenanya perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Berikut saya coba tuliskan kembali ajaran dan ilustrasi Ke delapan asas kepemimpinan yang terdapat dalam diorama di ruang Asthabrata tersebut yaitu :



Watak Bumi : Bumi mempunyai sifat murah hati, selalu memberi hasil kepada siapapun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang Pemimpin hendaknya berwatak murah hati, suka beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya;



Watak Maruta (Angin): Angin selalu berada di segala tempat, tanpa membedakan dataran tinggi atau rendah, daerah kota ataupun pedesaan. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, hingga secara langsung mengetahui keadaan dan keinginan rakyat.



Watak Samodra (Laut/air): Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama dihatinya. Dengan demikian ia dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.



Watak Candra (Bulan): keberadaan bulan senantiasa menerangi kegelapan malam dan menumbuhkan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya sanggup memberikan dorongan dan mampu membangkitkan semangat rakyatnya, ketika rakyat sedang menderita kesulitan.



Watak Surya (Matahari): matahari adalah sumber dari segala asal kehidupan, yang membuat semua mahkluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya untuk membangun negara, dengan memberikan bekal lahir dan batin untuk dapat berkarya.



Watak Akasa (langit): langit mempunyai keluasan yang tak terbatatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga degan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.




Watak Dahana (Api): api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghancurleburkan segala sesuau yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.


Watak Kartika (Bintang): bintang senantiasa mempunyai tempat yang tetap di langit sehingga dapat menjadi pedoman arah (kompas). Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan rakyat kebanyakan, tidak ragu menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.

Tuesday, April 13, 2010

Macam-macam Orang ketika Menerima Pujian dan Cacian

Pernahkah kita memuji atau mencaci maki seseorang? Bagaimana perasaan kita saat memuji atau mencaci maki seseorang? Puas? Bahagia? Sedih? Senang? Lantas bagaimana perasaan kita saat kita menerima pujian atau cacian dari seseorang?

Ada beberapa macam kelompok orang ketika menerima pujian dan cacian:

Ada orang yang memang berharap dipuji ketika melakukan amal perbuatan baik, Orang yang semacam ini akan binasa, atau kalau mujur maka Allah akan memberikan taubat kepadanya.

Ada orang yang tidak menginginkan pujian, namun jika ada yang memuji, dia pun merasa senang dengan pujian tersebut. Hendaklah dia berusaha keras untuk menghilangkan perasaan itu dari dalam hatinya. Tentu saja dia harus berjuang berulang-ulang dan dengan usaha yang cukup keras, dengan demikian diharapkan dia akan menjadi baik.

Ada yang tidak merasa senang jika mendapatkan pujian, sebab dia tahu bahwa pujian hanya akan menimbulkan mudharat, namun perasaan tidak senang itu tidak sampai ke taraf benci. Orang yang seperti ini Insya Allah adalah orang baik, dia hanya perlu diperbaiki keikhlasannya dalam beramal.

Ada yang merasa benci ketika menerima pujian. Namun dia tidak mampu untuk marah kepada orang yang memujinya. Orang yang seperti ini tergolong baik dan diharapkan suatu ketika dia akan mencapai taraf shiddiq.

Ada yang bisa marah kepada orang yang memberinya pujian. Orang tersebut telah sesuai dengan ajaran yang digariskan. Dia hanya tinggal membenahi perasaannya ketika menerima caci maki.

Sedangkan dalam hal menerima caci maki, maka orang juga terbagi menjadi beberapa macam:

Ada yang marah dan dendam ketika dicaci. Bahkan dia mencari saat yang tepat untuk bisa melampiaskan api dendamnya. Orang yang seperti ini akan bingung dan hancur, atau kalau lagi mujur, maka Allah akan memberikan taubat kepadanya.

Ada yang kesal apabila mendengarkan kalimat caci maki. Dia akan segera berlagak wara’ dan berbuat baik dengan niat riya’. Tidak jarang orang itu mencari-cari alasan yang bisa mentolerir keburukan yang dijadikan sebagai fokus cacian. Maka dengan diam-diam dia akan berusaha membongkar kedok keburukan orang yang telah mencaci dirinya. Orang ini tidak jauh berbeda dengan kelompok yang disebutkan di atas, yakni akan binasa dan celaka.

Ada yang marah-marah ketika mendengar caci maki dan cacian tersebut rasanya sangat memukul dirinya, sehingga tidak heran kalau rasa sakit itu melekat kuat di dalam hati.

Ada yang tidak suka mendapat caci maki, namun dia berusaha sekuat tenaga untuk bersabar menerimanya. Dia melakukan itu tidak lain karena ingin mendapatkan pahala. Oleh karena itulah, dia sama sekali tidak mendendam kepada orang yang telah mencelanya. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa dia tetap terlihat sedikit merasa kesal terhadap orang tersebut. Demikianlah cara berusaha untuk melatih jiwa agar bisa ridha terhadap caci maki.

Ada yang pada mulanya merasa tidak suka ketika dicaci, namun selang beberapa waktu kemudian dia sadar bahwa cacian tersebut memang layak untuk diterima. Hanya saja dia agak memperlakukan beda antara orang yang telah mencacinya dengan orang yang tidak mencaci dirinya. Setidaknya orang yang seperti ini sudah baik. Dan dia hanya perlu membenahi jiwanya agar lebih bersikap jujur.

Ada yang tidak merasa benci ketika menerima cacian. Dia malah rendah hati dan memilih untuk merunduk. Orang yang telah memberinya cacian dia beri perlakukan baik, sama seperti orang yang tidak pernah mencaci dirinya. Orang yang seperti ini sudah sangat diharapkan mencapai tingkat shiddiq.

Ada yang hatinya sudah mengatakan kejujuran. Dia merasa bahwa jiwanya memang sangat berhak untuk dicaci. Jadi ketika dia mendapatkan caci maki, maka dia merasa ridha dan sadar kalau dirinya pantas menerima itu. Dia merasa masih lebih baik, karena yang dicaci oleh orang hanya dalam hal tersebut. Padahal masih banyak lagi aib lain yang seharusnya juga mendapatkan cemoohan dari khalayak. Dia merasa Allah telah menutupi aib dirinya yang lain. orang yang seperti inilah agamanya akan selamat. Celaan akan menjadi simpanan kebaikan baginya di akhirat. Dan dia juga termasuk orang yang menonjol di zamannya.

Demikianlah kondisi setiap orang ketika menerima pujian dan caci maki. Kondisi mereka selalu saja berubah setiap jam dan setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun, bahkan frekwensinya juga kadang naik dan kadang turun.

Sumber: Buku Renungan Suci – Bekal Menuju Taqwa karangan Al-Muhasibi, diterjemahkan olehWawan Djunaedi Soffandi, S.AG., diterbitkan oleh Pustaka Azzam Penerbit Buku Islam Rahmatan.

Thursday, April 8, 2010

Menguji Amarah

Ada sedikit tips menarik yang saya peroleh saat membaca cerita “Pengadilan” dalam buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. Buku yang ditulis oleh Ajahn Brahm seorang Sarjana Fisika Teori lulusan Cambridge University yang kemudian memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dalam tradisi hutan Thai ini berisi 108 kisah yang berasal dari pengalamannya sendiri dan orang lain dengan dibumbui kisah klasik tempo dulu mengenai pemaafan, pembebasan dari rasa takut, dan pelepasan yang menyentuh, menggelikan dan mencerahkan.

“Pengadilan” adalah cerita ke 29 dari buku tersebut yang berasal dari pengalamannya sendiri dalam mengungkapkan kemarahannya. Ajahn Brahm bercerita; kalau kita akan marah, pertama-tama kita harus mencari pembenaran bagi kita sendiri. Kita harus meyakinkan bahwa marah itu pantas, tepat, benar. Nah disinilah uniknya cerita tersebut, siapa sih yang bisa dan sempat menguji bahwa marah kita itu pantas, tepat dan benar, paling-paling yang namanya marah yaaa langsung aja marah, maklum udah sampai ubun-ubun,namanya juga lagi nafsu, hehehe.

Ajahn Brahm ternyata punya trik untuk menguji bahwa marah itu pantas, tepat dan benar. Jika kita marah, maka dalam proses batin yang marah, hendaknya marah itu kita uji dalam “Pengadilan” Pikiran kita.

Marah kok diuji, di Pengadilan lagi. Saya jadi ingat Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan di Indonesia disamping Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Kalau kita perhatikan, Salah satu tugas Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Di Mahkamah konstitusi, undang-undang akan diuji apakah proses pembentukan dan materi muatannya telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Lantas bagaimana kalau yang diuji itu Amarah? Apakah akan dinilai juga proses pembentukan dan tingkat kesesuaian amarah kita kepada seseorang, sehingga amarah kita bisa disebut pantas, tepat dan benar?
Namun ternyata Ajahn Brahm mengilustrasikan proses peradilan berkaitan dengan marah dalam cerita “Pengadilan” tidak seperti beracara di Mahkamah Konstitusi, tetapi seperti di peradilan umum pidana biasa sebagai berikut:

Dalam Pikiran kita, terdakwa alias orang yang ingin kita marahi berdiri di atas panggung pengadilan pikiran. Kita adalah Jaksa Penuntutnya, Kita tahu terdakwa bersalah, tetapi supaya adil, kita harus membuktikannya kepada hakim, kepada hati nurani kita terlebih dahulu.

Kita rekontruksi “Kejahatan” yang melawan kita. Kita tuduhkan segala jenis kedengkian, sifat bermuka dua, dan niat buruk di balik semua perbuatan terdakwa. Kita ungkit kembali semua “kejahatan” terdakwa untuk meyakinkan hati nurani kita bahwa mereka tidak pantas untuk dikasihani, sebagai jaksa penuntut, kita sedang dalam proses membenarkan kemarahan kita, kita tidak ingin mendengarkan alasan-alasan yang menyedihkan, penjelasan-penjelasan yang tak dapat dipercaya, atau rengekan cengeng mohon pengampunan. Kita tengah membangun kasus yang meyakinkan, target kita adalah Hati Nurani sebagai hakim harus mengetok palu dan memutuskan terdakwa bersalah! Barulah kita merasa tak apa-apa marah kepada mereka.
Namun Jangan lupa, dalam pengadilan yang nyata, terdakwa juga berhak didampingi pengacara. Dalam cerita tersebut tidak disebutkan secara eksplisit siapa “pengacara” terdakwa, namun sebagaimana halnya jaksa penuntut dan hakim yang keduanya ada dalam diri kita, saya berpendapat pengacara terdakwapun tidak lain adalah diri kita sendiri. Agar adil, pengacara juga harus didengar suaranya. diamlah sejenak, biarkan “pengacara” pembela terdakwa menyatakan pembelaannya, berikan kesempatan kepada “Hakim”, hati nurani kita, untuk merenungkan alasan-alasan dan penjelasan yang masuk akal tentang perilaku terdakwa.

Pertanyaannya adalah, kalau tetap terdakwa dinyatakan bersalah? Marah yang pantas, tepat dan benar bagaimana yang harus kita lakukan?

Sehari sebelumnya kalau tidak salah saya sempat membaca “Wisdom” nya Oke Zone.com mengenai marah dari Arsitoteles, filsuf Yunani (384—322 SM) yang mengatakan bahwa:

"Siapa saja bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, ini tidak mudah."

Pengendalian diri, mungkin begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Aristoteles ribuan tahun yang silam.

Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa saja yang dapat menekan amarah pada saat ia dapat melepaskan amarahnya, hatinya akan penuh dengan kedamaian dan iman kepada Allah Yang Maha Kuasa”.

Kalau saya coba terapkan tips dalam cerita “Pengadilan” ini, sepertinya saya bakal nggak jadi marah, soalnya marahnya keburu reda, habis proses sidangnya lama sih… hehehe.

Sebagai penutup cerita, Ajahn Brahm menuturkan bahwa ia mementingkan indahnya pemberian maaf. Ia menemukan bahwa suara hatinya tidak lagi membolehkan adanya putusan bersalah. Jadi, tidak mungkinlah untuk menghakimi perilaku orang lain. Kemarahannya, karena tidak dicari-cari pembenarannya, akhirnya kelaparan, dan mati.