Monday, February 22, 2010

Gedung “Indonesia Menggugat”



Gedung Indonesia Menggugat terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5 Bandung, dibangun pada tahun 1917. Luas bangunan 970 M2 didirikan di atas tanah seluas 1.685 m2. Pada tahun 1923 bangunan tersebut diperluas dengan atap bersusun dua.



Dibanding penjara Banceuy, kondisi gedung Landraad Bandoeng cukup terawat baik. Didepan gedung Nampak prasasti pemugaran gedung yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 30 Desember 2002.



Begitu masuk gedung, kami terkejut sekaligus terkesima. Rupanya ruang sidang pengadilan yang berukuran kurang lebih 3 X 6 m ini masih dapat kami saksikan keberadaannya.

Kami semua larut dalam suasana gedung yang dramatis, tanpa terasa Bude yang turut serta dalam rombongan kami menitikkan airmata haru.



Diruang sidang inilah Soekarno disidangkan. Soekarno diajukan ke persidangan atas tuduhan subversi. Persidangan berlangsung berminggu-minggu.

Akhirnya, dalam putusan setebal 62 halaman yang dibacakan dalam sidang 22 Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Tiga orang rekannya, masing-masing Gatot Mangkoepradja dua tahun, Maskoen Soemadiredja satu tahun delapan bulan dan Supriadinata satu tahun tiga bulan penjara.

Merasa tidak puas atas putusan yang dianggap tidak adil tersebut, Soekarno dan tiga rekannya mengajukan banding. Tetapi Raad van Justitie di Batavia sama sekali tidak mempertimbangkannya. Dalam putusannya tanggal 17 April 1930, Raad van Justitie menguatkan putusan Landraad Bandoeng.

Di salah satu dinding gedung terdapat beberapa bingkai kayu yang berisi kutipan dari beberapa literatur menggambarkan bagaimana proses persidangan di Landraad Bandoeng saat itu.



Salah satu diantaranya berbunyi sebagai berikut:

“JAKSA DAN HAKIM TIDAK MENJUNJUNG KEADILAN HUKUM”
Dalam proses pengadilan tersebut, terlihatlah bahwa Jaksa dan hakim bukan sebagai manusia yang menjunjung tinggi keadilan yang dikeramatkan, akan tetapi merupakan manusia kolonial yang tidak menjunjung tinggi keagungan dan keadilan hukum.
Proses sidang pengadilan ini menunjukkan bagaimana sebenarnya empat terdakwa tersebut secara dinamis dan dialektis telah mengubah seluruh suasana ruang persidangan menjadi suatu forum pengadilan yang mendakwa sistim kolonial Belanda, sebagai sumber pokok dari segala kemelaratan dan kemiskinan Rakyat Indonesia. Pengadilan yang Menggugat Belanda tersebut dikenal sebagai peristiwa “Indonesia Menggugat” yang dilaksanakan di Gedung Landraad Bandoeng”.


Setelah vonis dijatuhkan, Soekarno dan teman-temannya dipindahkan dari Penjara Banceuy ke Penjara Sukamiskin, letaknya sekitar lima kilometer arah timur Kota Bandung.


Sumber Photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis sebuah Wisata Sejarah

Sebenarnya kami ingin mengunjungi Penjara Sukamiskin. Namun sayang waktu tidak memungkinkan.

Friday, February 19, 2010

Sel No. 5 Penjara Banceuy “Kisah Monumen Sejarah” yang Merana

Minggu pagi 14 Februari 2010, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, saya bertanya pada Farhan yang tengah asyik main game di handphone milik Pakdenya.

“Kak, Siapa Presiden Pertama RI?”, pertanyaan yang dianggap mudah ini dijawab sambil lalu “Soekarno, Pak”
“Kakak tahu nggak dulu Soekarno pernah di penjara?”
“Iya, kakak tahu, di Sukamiskin Kan?” jawab anak saya heran dengan pertanyaan bapaknya.
“Sebelum di Sukamiskin, Kakak tahu nggak Soekarno pernah di penjara di mana?”

Farhan menghentikan permainan game nya, “Emang dipenjara mana lagi Pak?”
“Banceuy, Penjara Banceuy Kak”, jawab saya “Kakak tahu Penjara Banceuy ada dimana?”
Kali ini Farhan mengernyitkan keningnya berusaha untuk menjawab pertanyaan saya.
“Tidak tahu Pak. Yang kakak tahu menurut buku Pelajaran Sekolah, Soekarno itu di penjara di Sukamiskin”.
“Kakak mau lihat sel tempat Soekarno dulu di tahan di Penjara banceuy?” Tanya saya.

Farhan kaget, mungkin dibenaknya tidak pernah terbayang bahwa sejarah yang selama ini ia baca di buku pelajaran bisa ditelusuri keberadaannya sekarang “Mau, mau Pak!” jawab Farhan semangat.

Kami segera meluncur ke Pertokoan Banceuy Permai. Rombongan berangkat dua mobil sama seperti tadi malam saat kunjungan ke Observatorium, hanya saja kali ini ibu saya tidak ikut.

Saya, Istri, Silmi dan si kecil Azmi tiba lebih dahulu di lokasi. Dengan tidak sabar saya segera menuju bangunan kecil yang kurang terawat terpencil di sisi pojok komplek pertokoan Banceuy Permai.



Bangunan kecil ini dulunya Menara Pengawas tembok Penjara Banceuy, kalau tidak salah dulu ada empat menara.


sumber photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah

Penjara Banceuy yang sangat bersejarah ini dibangun pada tahun 1871 kemudian pada pertengahan tahun 1980an dirobohkan untuk pembangunan sebuah komplek pertokoan Banceuy Permai.




sumber photo: Bandung Kilas Peristiiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah

Satu menara dan sel penjara no 5 tempat Soekarno dulu ditahan dibiarkan utuh untuk dijadikan monumen.


sumber photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah

Perlahan saya mendekati bangunan menara, bau aroma tidak sedap tong sampah yang disimpan dalam menara menyergap hidung saya.



Dengan hati-hati saya dorong pintu besi yang tidak terkunci, saya mengecek situasi dalam menara.

Tangga Besi menara menuju lantai atas masih kokoh. Saya memberanikan diri untuk menaiki tangga.



Di ruang atas menara pengawas kondisi “Monumen” sejarah bangsa ini tidak kalah memprihatinkan. Nampak sampah berserakan, mungkin tunawisma menggunakan menara ini sebagai tempat beristirahat di malam hari, beberapa pakaian lusuh dan sandal jepit teronggok di salah satu sudut ruang pengawas.



Dari bawah Silmi memanggil ingin ikut naik. Hanya saja saya larang, terlalu bahaya untuk anak sekecil Silmi naik ke atas.



Turun dari menara saya segera menuju sel no 5 yang bersejarah. Saya sedikit merinding ada kesan haru yang begitu mendalam terpendam dalam hati, inilah salah satu jejak monumen sejarah emas anak bangsa dalam mencapai kemerdekaan, kini Saksi bisu sejarah ini berdiri kesepian menanti perhatian.



Saya mencoba untuk membuka pintu sel, namun dikunci. Pintu sel masih kelihatan Kokoh, dibalik jeruji besi saya melihat bendera Merah Putih terpasang di dinding, ukuran sel sangat sempit.



Disamping sel ada seonggok batu, Saya dan istri tidak memahami maksud batu ini, kondisinya tidak kalah memprihatinkan, Nampak genangan air hijau dalam cekungan tembok yang ditumbuhi lumut. genangan air ini sangat rawan dijadikan sarang nyamuk, untunglah ada orang yang berinisiatif memasukan beberapa ekor ikan mas kecil di dalamnya mungkin ditujukan untuk memakan jentik nyamuk.





Saya berkeliling memperhatikan monumen batu, tidak ada sedikitpun penjelasan atau keterangan mengenai maksud monumen batu ini.

Tiba-tiba Hp berbunyi, Farhan yang berada di rombongan mobil ke dua sampai. Kami kembali menuju tempat parkir menyambut rombongan.

Farhan yang dari tadi tidak sabaran ingin segera sampai langsung saya ajak untuk menaiki menara pengawas. Ada sedikit keraguan dari Farhan, Farhan sempat mundur dan menolak. Bau sampah yang menyengat menjadi salah satu alasannya. Setelah saya yakinkan aman, akhirnya Farhan memberanikan diri untuk naik ke atas.



Kemudian rombongan menuju sel no. 5, Sulit bagi saya untuk menjelaskan bahwa sel no 5 yang berukuran sekitar 2 X 2,5 meter ini dulunya tidak berada di tengah komplek pertokoan.



Pada zaman penjajahan Belanda, Soekarno karena kegiatan politiknya pertama kali berkenalan dengan penjara di tempat ini.

Demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Soekarno pada tanggal 4 Juni 1927 mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Belanda khawatir dengan sepak terjang kegiatan politik Soekarno, maka pada tanggal 29 Desember 1929, bersama dengan Gatot Mangkupradja dan Maskoen Somadiredja, Soekarno ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Soekarno mendekam di penjara Banceuy selama delapan bulan. Kemudian sejak tanggal 18 Agustus 1930 Soekarno dan teman-temannya diajukan ke persidangan Landraad Bandoeng. Tim Pembela Soekarno terdiri dari Mr. Sartono, Mr. Sujudi, Mr. Sastromuljono dan ahli hukum R. Idih Prawiradiputra.

Pembelaan Soekarno di Landraad Bandoeng yang berjudul Indonesie Klaagt Aan (Indonesia Menggugat) di susun diruang pengap “Sel No. 5” Penjara Banceuy, Luar Biasa! Pembelaan Soekarno ini membuat marah pemerintah Kolonial Belanda.

Untuk melengkapi perjalanan sejarah, saya mengajak rombongan ke “Gedung Indonesia Menggugat” yang merupakan tempat persidangan Soekarno dulu.

Kami pun meninggalkan monumen penjara Banceuy menuju Landraad Bandoeng yang kini namanya berubah menjadi Gedung Indonesia Menggugat.

Tuesday, February 16, 2010

Observatorium Bosscha, Mutiara dari Selatan Khatulistiwa.

Setelah minggu lalu mengunjungi Pabrik Kina, sasaran kunjungan kami kali ini adalah Observatorium Bosscha.

Kami berangkat dari Bekasi Sabtu sore. Sepanjang Perjalanan tol menuju Bandung, kami diguyur hujan deras. Hujan baru berhenti saat kami mulai memasuki kawasan Pintu tol Padalarang Barat. Kami tiba di Bandung pukul 19.30.

Sebenarnya kami belum begitu yakin apakah Obsevatorium Boscha buka pada malam ini terlebih cuaca dalam keadaan mendung, namun untuk memenuhi rasa penasaran, kami memutuskan untuk tetap mengunjungi Observatorium.

Berdasarkan informasi yang kami baca di buku ‘Jendela Bandung’ walaupun bukan obyek wisata, Observatorium Bosscha memungkinkan dikunjungi publik pada malam hari, waktunya diatur dan bergantung pada kesediaan observatorium.

Observatorium Bosscha terletak di atas bukit di pinggiran kota Lembang. Walaupun lokasinya berada luar kota Bandung sekitar 15 km arah utara, status Observatorium Bosscha tidak dapat dipisahkan dari kota Bandung, karena sejak didirikannya sampai sekarang pengelolaan dan kepemilikannya ada di bawah Technische Hooge School yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung.

Dari Bandung kami bergerak menuju Lembang sekitar pukul 20.15. Walaupun Saat ini malam Minggu, jalanan tidak terlalu macet, sehingga kami leluasa meluncur ke arah utara kota Bandung dengan lancar. Setelah menemui simpang tiga jalan Lembang-Bandung, kami masuk melewati pintu gerbang besi dan menelusuri jalan kecil menanjak yang gelap sejauh kurang lebih dua kilometer.

Kami tiba sekitar pukul 21.00, secara samar kami melihat kubah putih observatorium, suasana komplek observatorium gelap dan sepi. Setelah mobil kami parkir, Kami didatangi oleh petugas jaga. Dari petugas jaga kami memperoleh informasi bahwa observatorium sudah tutup sejak pukul 15.00.

Farhan anak saya yang paling besar kelihatan kecewa. Keinginannya untuk bisa menikmati benda langit nun jauh diangkasa sana belum bisa terpenuhi. Dengan ramah petugas jaga memandu mobil kami untuk berbalik arah meninggalkan kompleks obsservatorium.

Photo Udara Komplek Observatorium Bosscha tahun 1930an.
Sumber Photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah

Pemikiran untuk mendirikan Observatorium dicetuskan pada tahun 1920, sejalan dengan berdirinya Nederlandsch Indische Sterrenkundige VereenigingNISV (Perkumpulan Ilmu Astronomi Hindia Belanda) yang dipelopori oleh Karel Albert Rudolf Bosscha (K.A.R. Bosscha).

Observatorium ini merupakan sumbangan dari Raja Teh Perkebunan Malabar K.A.R. Boscha dan sepupunya Ir. K.A. Kerkhoven. Kompleks Observatorium dibangun mulai tahun 1922 di atas lahan salah satu puncak perbukitan di sekitar gunung tangkuban perahu (1300 meter diatas permukaan laut). Lahan tersebut  hadiah dari keluarga Ursone peternak sapi perah berkebangsaan Italia di Lembang.

Tanggal 1 januari 1923 walaupun bangunan komplek belum selesai seluruhnya, komplek observatorium diresmikan oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Fock. Observatorium selanjutnya diserahkan NISV kepada Technische Hooge School . Nama observatorium Bosscha baru ditetapkan lima tahun kemudian, setelah K.A.R. Bosscha meninggal. Pemberian nama Observatorium Bosscha merupakan bentuk penghargaan atas jasa-jasa dan dedikasinya membangun observatorium di Lembang.

Observatorium Bosscha terletak pada lintang geografis yang dekat dengan khatulistiwa. Keberadaan observatorium ini memiliki peran sangat penting karena memungkinkan menyapu belahan selatan dan utara. Pantas jika observatorium Bosscha dijuluki “ Mutiara di Selatan Khatulistiwa”. Selain itu, karena letak bujur geografisnya berada di antara observatorium besar di Afrika Selatan dan Australia, maka Observatorium Bosscha merupakan mata rantai penting dalam jaringan observatorium yang ada di seluruh dunia.



Gedung Observatorium Zeiss di Komplek Observatorium Bosscha tahun 1990an
tampak teleskop Zeiss berbobot 17 ton dengan panjang 11 meter.
Sumber Photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis sebuah Wisata Sejarah.


Bagi Indonesia, observatorium tersebut memiliki multifungsi. Sebagai Pusat Penelitian dan Pengembangan Astronomi dan Sains Keantariksaan, observatorium Bosscha melakukan penelitian yang melingkupi struktur alam semesta, struktur galaksi, fisika bintang dan bintang ganda, tata surya dan sains antariksa. Baik secara teoritis maupun atas dasar pengamatan. Hingga saat ini Observatorium Bosscha merupakan fasilitas penelitian astronomi milik ITB.

Sebagai bentuk pengabdian masyarakat, Observatorium Bosscha membuka kunjungan terbatas dengan jadwal sebagai berikut:

Kunjungan siang ;

Selasa-Kamis dibuka tiga sesi : Sesi I 09.00-11.00, Sesi II: 11.00-13.00, Sesi III: 13.00-15.00

Jum’at dibuka dua sesi: Sesi I: 09.00-11.00 dan Sesi II: 13.00-15.00

Sabtu 09.00-15.00

Untuk kunjungan siang, pengunjung dapat:

-mengunjungi teleskop Zeiss (tidak meneropong)

- mendapat info astronomi di ruang multimedia

Kunjungan malam;

Untuk kunjungan malam, hanya diselenggarakan tiga malam tiap bulan dalam bulan April s.d. Oktober.

Jika langit cerah (tidak mendung/hujan), pengunjung malam dapat mengamati bulan & objek-objek lain menggunakan teleskop Unitron dan Bamberg.

Bagi mereka yang berminat mengunjungi Observatorium Bosscha dianjurkan mendaftar terlebih dahulu ke kantor Tata Usaha, atau melalui e-mail: kunjungan@as.itb.ac.id atau telepon.

Karena tutup, kami segera meninggalkan komplek observatorium Bosscha yang tenang dikegelapan malam.

“Pak Kok di sini gelap amat sih?” Tanya Farhan

“Untuk mengamati bintang dan benda langit lainnya memang membutuhkan kondisi gelap Kak, biar maksimal” Jawab saya.

Saat menuruni jalan komplek yang gelap, Sesekali kami melihat dari kejauhan gemerlap cahaya terang lampu kota Bandung dan sekitarnya. Tanpa disadari gemerlap lampu ini merupakan polusi sinar yang mempengaruhi kadar kualitas kegelapan langit. Konon tempat yang dijuluki ‘surga’ peneliti astronomi karena lokasi dan lingkungannya sangat mendukung ini, sudah lama menderita karena polusi sinar. Polusi Sinar ini Makin lama makin berat karena pada malam hari, langit kota Bandung makin terang seiring dengan pesatnya perkembangan Bandung.

Karena belum makan malam, Rombongan kami yang terdiri dari dua mobil bergerak lebih ke utara menuju kota Lembang, mampir di Rumah Makan Ayam Goreng ‘Brebes’ menikmati sajian ayam goreng dan hangatnya segelas susu sapi murni.

Malam semakin larut, secara perlahan Kabut mulai menyelimuti kawasan Lembang. Kami segera meluncur ke Bandung meninggalkan mutiara dari selatan khatulistiwa ‘Observatorium Bosscha’.

Thursday, February 11, 2010

Keindahan Kawah Putih Gunung Patuha

Kawah putih berada pada ketinggian 2.149 meter di atas permukaan laut, merupakan bagian dari kawasan hutan lindung seluas 2.690,5 hektar dengan vegetasi khas kawah antara lain jenis jamuju, cantigi, dan paku-pakuan. Suhu kawah berkisar 18 -26 derajat celcius. Pada malam hari bisa mencapai 11 derajat. Tetapi sewaktu-waktu, suhu bisa turun secara mendadak sampai tiga derajat celcius. Pemandangan sekeliling menjadi gelap karena tertutup kabut.

Beberapa jenis binatang yang terdapat di sana antara lain sanca, burung hantu, surili, harimau dan serigala. Untuk keselamatan pengunjung dilarang memasuki daerah sekitar sawah selewat pukul 17.00



Kawah Gunung Patuha sering berubah warna, namun karena kawah yang memiliki campuran belerang cukup tinggi lebih sering berwarna putih seperti kapas, kawahnya dinamakan kawah putih. Tetapi pada lain kesempatan berubah menjadi hijau atau kebiru-biruan, tergantung dari keadaan cuaca di sekitarnya

Andai saja saya belum pernah mengunjungi Kawah Putih Gunung Patuha di kawasan Bandung Selatan, mungkin saya tidak akan bisa membayangkan kisah yang dialami oleh Dr. Franz Wilhem Junghuhn pada tahun 1837.

Saat  pertama kali membaca kisah tersingkapnya keindahan kawah putih oleh Dr. Franz Wilhem Junghuhn, imajinasi saya larut dalam bait-bait kalimat Her Suganda, penulis buku ‘Jendela Bandung’ yang secara cermat membimbing ingatan saya akan pengalaman menakjubkan saat secara tiba-tiba, setelah beberapa langkah menapak titian tangga paving block, dikejutkan oleh pesona hamparan sebuah danau kawah yang indah berwarna putih kehijau-hijauan.



Dikisahkan bahwa keindahan kawah putih pertama kali tersingkap berkat usaha Dr. Franz Wilhem Junghun yang sedang melakukan perjalanan di daerah Bandung Selatan pada tahun 1837.

Di suatu tempat yang agak sunyi yang terletak di sekitar Gunung Patuha, peneliti yang dijuluki “Humboltdt untuk Pulau Jawa” itu beristirahat sambil duduk termenung menikmati keindahan alam Ciwidey. Tetapi selama merenung, ia tidak habis pikir, mengapa tidak seekor pun burung yang terbang melintasi daerah sekitar gunung tersebut.



Junghuhn berpikir untuk beberapa waktu lamanya sambil terus mengamati daerah sekitarnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada pengantarnya, ia memperoleh jawaban yang tidak masuk akal. Katanya daerah tersebut sangat angker sehingga tidak seorangpun berani memasuki kawasan itu. Puncaknya yang seringkali berserlimut kabut putih, dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur dan merupakan wilayah kerajaan yang dikuasai makhluk jin. Pada salah satu puncaknya yang dinamakan Puncak Kapuk, terdapat makam para leluhur yang terdiri dari Eyang Jaga Satru, Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom dan Eyang Jambrong. Karena dianggap memiliki kesaktian, makam tersebut dalam waktu-waktu tertentu sering diziarahi.

Hingga kini, kepercayaan itu belum luntur. Masyarakat setempat masih mempercayai, jika sekali waktu melihat sekawanan biri-biri berbulu putih yang dipercaya merupakan jelmaan para leluhurnya. Binatang jadi-jadian itu dinamakan domba lukutan.

Mendengar kisah yang diceritakan pengantarnya, Junghuhn tidak bisa percaya dengan begitu saja. Pengalamannya selama menjelajah hutan dan mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa mendorong jiwa petualangannya mengunjungi tempat yang dianggap angker itu. Jalan aspal mulus sejauh enam kilometer yang kini membentang dari pintu masuk Bodogol di dekat pemandian air panas Cimanggu, sebelumnya merupakan hutan lebat. Junghuhn berusaha menerobosnya, sehingga pengantarnya ketakutan. Namun begitu sampai di kaki gunung, ia tertegun beberapa saat lamanya. Pandangannya terpesona tatkala menyaksikan pemandangan yang menakjubkan.



Di depan matanya, membentang sebuah danau yang sangat indah dengan bau yang menyengat. Airnya putih kebiru-biruan. Oi… betapa indahnya. Junghuhn segera menyadari, mengapa burung-burung menghindar terbang di atas puncak gunung tersebut. Jelas bukan karena angker, namun karena kandungan belerang kawah tersebut cukup tinggi. Baunya menyengat kuat.

Ketika terakhir kali kami mengunjungi Kawah Putih, Hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan dari ciwidey, untungnya saat kami tiba di lokasi hujan reda.  Hanya saja kabut tebal dan dinginnya udara membuat kami kedinginan.  Kami pun menyempatkan diri mampir di warung sekitar untuk menikmati jagung bakar dan segelas minuman bandrek yang hangat ... duh nikmaatnya!

Tuesday, February 9, 2010

Pabrik Kina

Entah sudah berapa ratus kali saya melewatinya, Saya dulu sekolah di SD Pajajaran ( 1974-1980) sewaktu SD, saya pulang pergi sekolah selalu melewati pabrik kina, masa kecil kami dilalui bersama bunyi sirene, kepulan asap pabrik dan aroma serbuk kina.

Pabrik yang bertugas mengolah kulit kina ini terletak tepat di sudut kiri-kanan simpang Jalan Pajajaran dan Cicendo Bandung. Pabrik ini sudah menjadi bagian dari pemandangan kami sehari-hari, tidak ada sesuatu yang istimewa. Maklum lokasi Pabrik berdekatan dengan rumah tinggal kami.

Namun hari ini, puluhan tahun kemudian, pabrik kina di mata kami tiba-tiba menjadi begitu istimewa!

Sebenarnya, Setiap mengunjungi rumah Ibu saya, kami sering melewati pabrik,  cerobong asap tua Pabrik Kina menjadi saksi bisu mondar-mandirnya mobil kami.




Silmi yang sehari sebelumnya dijanjikan untuk mengunjungi Pabrik Kina menagih Janji. “Pak, ke tempat Pabrik yang ada cerobongnya itu ya pak!” Farhan juga penasaran dengan cerita di buku 'Jendela Bandung' dan ingin membuktikannya, Saya tersenyum melihat tingkah polah kedua anak saya.

Saat melewati Pabrik, Mata mereka berbinar melihat kemegahan cerobong asap pabrik yang semakin menua.

Mobil kami parkir depan koperasi pegawai Pabrik Kina “CINCHONA”.   Dulu saya mengira CINCHONA adalah nama yang berhubungan dengan kata CINA, ternyata bukan, Cinchona adalah nama lain dari pohon Kina, di ambil dari nama anak gadis di amerika latin bernama Comtessa Del Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria dan secara tidak sengaja diobati oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu hingga sembuh.  karena khasiatnya itu, pohon yang kulitnya digunakan mengobati penyakit demam tersebut kemudian dinamakan Chinchona.



Setelah mobil diparkir, Farhan sudah tidak sabar, Eksplorasi awal kami lakukan berdua. Silmi ditinggal di mobil ditemani ibunya beserta Om dan Tantenya yang masih sibuk mengurusi Azmi anak mereka yang masih berumur dua tahunan.

Karena hari minggu pabrik tidak beroperasi, Pabrik tampak sepi. Untuk lebih leluasa mengeksplorasi salah satu industri tertua di kota Bandung ini, kami memutuskan untuk memindahkan mobil ke depan toko sakura (yang menjual alat kesehatan) dan menengok ibu saya terlebih dahulu.



Saat kami pamit untuk melihat-lihat pabrik, kami ditertawai orang serumah, apa yang mau dilihat? Ya memang seperti itulah pandangan penduduk sekitar, pabrik itu sudah menjadi hal biasa, saking biasanya tidak ada sesuatu yang dianggap istimewa.

Selanjutnya eksplorasi kami lakukan berlima; saya, istri, Farhan, Silmi dan Azmi. Azmi merupakan tim eksplorasi termuda.



Banyak pertanyaan terlontar dari farhan dan silmi, sayang pertanyaan tersebut tidak dapat saya jelaskan secara mendetail, karena berkaitan dengan operasional pabrik.

Dari buku yang saya baca, bangunan pabrik ini merupakan hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W. gaya arsitekturnya art deco, didirikan tahun 1896.


 photo udara Pabrik Kina tempo dulu

Bangunannya masih tampak kokoh, dan hingga kini tidak banyak mengalami perubahan.





Pabrik Kina terlahir dengan nama “Bandoengsche Kinine Fabriek”, pada zaman pendudukan Jepang namanya berubah menjadi “Rikugun Kinine Seisohjo”, setelah merdeka perusahaan ini dinasionalisasi, di bawah nama PN. Farmasi dan Alat Kesehatan. Tahun 1971 namanya diganti menjadi PT (Persero) Kimia Farma, dimana Pabrik Kina Bandung menjadi unit Produksi Bandung.

Sambil bernostalgia menelusuri bangunan luar pabrik, saya menceritakan tentang sirene penunjuk waktu dekat cerobong asap. Sirene ini sering kami jadikan patokan waktu tertentu. Ternyata sirene ini, selama lebih dari seabad telah menjadi sahabat setia sebagai penunjuk waktu penduduk sekitar melalui bunyinya yang nyaring. Dalam sehari, sirenenya dibunyikan empat kali, sebagai pemberitahuan waktu kerja, istirahat, dan jam pulang karyawan.

Sebelum tahun 1980, bunyi sirene tersebut berasal dari dua buah ketel uap buatan Babcock & Wilcox. Namun karena ketel tersebut menggunakan bahan bakar residu, maka setiap kali sirine berbunyi, setiap kali itu pula asap tebal (abu pekat kehitaman) membumbung tinggi melalui cerobongnya. Di atas kepala sirene itu sendiri keluar asap putih tebal, mungkin berasal dari uap air, saya mengilustrasikannya seperti ketika merebus air menggunakan ceret yang berbunyi pada saat air mendidih, Cuma ini ukurannya sangat besar. Karena dianggap tidak ekonomis, ketel uap diganti ketel otomatis. Untuk membongkar ketel uap yang lama dibutuhkan waktu empat bulan. Maklum, dindingnya yang terbuat dari baja memiliki ketebalan sekitar dua centimeter. Masing-masing ketel, beratnya sekitar 50 ton. Sangat disayangkan. Ketel uap lama tersebut katanya dijadikan besi rongsokan di tukang besi rongsokan jalan Soekarno Hatta Bandung. Entah bagaimana caranya membantai bekas ketel uap bersejarah tersebut.

Sambil menyusuri Pabrik saya menceritakan tentang rel lori yang digunakan untuk membawa serbuk kina dari bangunan yang bercerobong asap ke bagunan gudang penyimpanan yang ada di seberangnya. Lori yang bermuatan serbuk kina didorong secara manual oleh orang-orang yang sebagian besar tubuhnya terbalut warna coklat serbuk kina, mereka memakai topi mirip tentara Jepang tempo dulu. Disetiap depan Pintu gudang terdapat piringan putar rel yang berguna untuk membelokkan lori ke tempat yang di tuju. Saat ini rel dan piringan putar tersebut sudah tidak ada, lahannya dipangkas pelebaran jalan Pajajaran, kalau tidak salah sekitar akhir tahun 70 an atau awal 80 an. Dulu saya sering bermain di atas piringan putar tersebut. Dua atau tiga orang membentuk lingkaran dengan tangan masing-masing berpegangan di atas pundak yang lainnya menahan agar terjadi keseimbangan dan tidak jatuh saat piringan diputar cepat oleh kaki salah seorang anak.

Kemudian kami menuju sisi pabrik yang berbatasan dengan aliran sungai cikapundung, kami semua berdiri lama di atas jembatan cikapundung menatap ke arah pabrik, mencoba menelusuri masa kejayaan Pabrik Kina di masa lalu.



Sejarah mencatat Pabrik ini mencapai masa kejayaannya sampai menjelang Perang Dunia Kedua. Saat itu Belanda betul-betul menikmati keuntungan yang tidak kecil dari perdagangan kina. Dari sekitar 11.000 – 12.000 ton kulit kering kina yang dihasilkan dari kurang lebih 107 unit kebun kina seluas 18.000 hektar, 4.000 ton diantaranya diolah Pabrik Kina, sisanya sebesar 7.000 – 8.000 ton di kirim ke luar negeri. Sehingga pada abad ke-20 Pulau Jawa menjadi terkenal kerena menghasilkan lebih dari 90% produksi kina dunia.

“Kok Sekarang sepi ya Pak?” Farhan penasaran dengan aktivitas Pabrik yang sepertinya tidak beroperasional lagi. “Lha, ini kan hari Minggu, pada libur kali..” jawab saya. Sekalipun umurnya lebih dari 100 tahun, pabrik kina masih tetap berproduksi.

Untuk memenuhi rasa keingintahuannya, kami semua mengintip di setiap celah pintu besi pabrik, mencoba menggali sisa-sisa kejayaan Pabrik yang masih berdiri kokoh ini.




Tidak cukup celah di pintu besi, akhirnya Farhan dan Silmi, menaiki sisi tembok salah satu bangunan pabrik dan mengintip Isi Pabrik lewat jendela kaca. Azmi berkeras untuk ikut, namun Farhan dan Silmi melarangnya.





Dari kejauhan saya tersenyum, persis di tempat yang sama beberapa puluh tahun yang silam sayapun mengintip aktifitas pabrik di jendela tersebut.

Monday, February 8, 2010

“Buku Langka” Jendela Kota


(ilustrasi gambar dari buku "Bandung Digambar Euy")

"Waduh! Siapa yang nyimpen gelas Tupperware di atas buku langka ini??", kata saya agak sewot, maklum buku “Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas” merupakan buku yang sudah mulai agak susah didapat. Buru-buru saya ambil gelas yang masih berisi air tersebut. Di atas ‘cover buku ‘ yang saya sebut langka itu, nampak bulatan air bening membekas, ukurannya persis sebesar dasar gelas Tupperware.

Farhan, si sulung datang mendekat. "Paling-paling Ibu, Pak. Abis bapak sembarangan sih nyimpen bukunya". Nampak ibunya mesem-mesem di belakang Farhan, bangga di belain anak nya.

"Mana? Mana bukunya Pak? " Teriak si bungsu Silmi sambil merebut buku yang sedang saya lap pake baju kaos yang saya kenakan (hehehe, namanya juga emergency, P3BK “Pertolongan Pertama Pada Buku yang Kebasahan”).

Saya tidak jadi marah dan cuma tersenyum melihat tingkah laku kedua anak saya yang begitu antusias berebut buku yang saya sebut langka itu, Silmi merajuk ingin mendapat kesempatan pertama melihat buku, kakaknya mengalah. "Emang buku ini langka ya Pak?" Tanya Farhan sedikit menyelidik. Maklum bukunya masih terlihat baru dan bagus (tanda jarang di sentuh, hehehe) pokoknya jauh dari kesan kuno yang identik dengan istilah langka.

"Eh.. iya.. sudah agak susah nemuinnya tuh. Maklum, banyak orang yang nyari buku tersebut buat dikoleksi" , jawab saya. Farhan belum puas. Saya masih diberondong beberapa pertanyaan lanjutan, dimana belinya, berapa harganya, apa aja sih isi buku tersebut, kenapa orang pada mau ngoleksi, kenapa tidak dicetak ulang dan sederet pertanyaan lainnya yang saya jawab tuntas (tentunya dengan versi saya, intinya yang penting, buku ini langka…. Hahaha).

Silmi terlihat membolak-balikkan halaman buku. "Eehh… apa ini, kita kan pernah ke sini ya pak! Kak, lihat ini Kak, kita pernah ke sini kan?"

"Ooh… itu Sumur Bandung ya dek!" Farhan melihat gambar foto Sumur Bandung yang ditunjukkan Silmi.

"Iya… Sumur Bandung, kita kan pernah ke sini ya Pak?" Mata Silmi kelihatan berbinar ke arah Saya, Silmi seolah tidak percaya, buku yang ditangannya itu ternyata berisi sesuatu yang nyata, nyata dengan apa yang ia ketahui, ia rasakan dan ia alami, tangannya cekatan membolak-balikkan lembar-demi lembar halaman berikutnya.

“Bibit Kina, Pada Awalnya Hasil Curian”, maksudnya apa Pak? Tanya Silmi. "Baca aja dek, kan disitu ada ceritanya", Kata Saya. Dengan suara keras khas anak kls 1 SD, dibacalah kisah awal mula ditemukannya Kina sebagai obat malaria nun jauh di Amerika sana sampai proses kedatangan bibitnya ke Indonesia.

Sesekali saya dan istri, membantu menerjemahkan maksud kalimat yang dibaca Silmi. Farhan juga sesekali membantu adiknya yang kesulitan membaca istilah yang belum familiar buat seukuran Silmi.

"Ini dek, adek pernah lihat tempat yang di gambar ini nggak? "Tanya saya, sambil menunjukkan gambar sebuah Pabrik bercerobong asap.

"Pernah Pak! Itu kan deket rumah nenek!! Kak, lihat Kak, inikan deket rumah nenek kak!" Teriak Silmi kegirangan, dengan penuh semangat halaman buku diputar, diposisikan untuk dapat dilihat kakaknya dan… breeet…. lembar halaman yang berisi gambar tersebut robek tidak sanggup membawa sisa beban buku yang cukup tebal ke posisi yang dikehendaki. Silmi terdiam. Kakaknya Kaget, Ibunya terpekik, Saya langsung “NO COMENT”.

Hening sesaat. Silmi sedikit tertunduk, Farhan menyalahkan adiknya yang kurang hati-hati, "Ini buku langka lho dek! Makanya harus hati-hati". Silmi semakin menunduk, tidak ada perlawanan, Farhan langsung mengambil alih buku, dengan sangat hati-hati Farhan meneliti lembaran yang robek. Dari kejauhan saya melihat robekannya tidak terlalu parah.

"Sudah Kak tidak apa-apa, besok pas kita ke Bandung kita jalan-jalan sekitar Pabrik Kina ya" kata saya menenangkan suasana. "Sudah dek nggak apa-apa lain kali hati-hati ya kalau baca buku" ujar ibunya. Kini buku berada dibawah kendali Farhan, Silmi tidak bisa protes. Dengan sangat hati-hati Farhan membuka lembaran demi lembaran halaman yang menyajikan beberapa gambar foto yang sebagian besar tidak asing baginya. Silmi yang masih penasaran kembali curi-curi pandang ke arah lembaran halaman yang kini dikuasai Farhan.

"Oke… mulai minggu besok, kita kunjungi tempat-tempat yang ada di buku ini ya", kata saya.

"Horeeee … "Farhan dan Silmi berteriak girang, tidak sabar menunggu hari yang dijanjikan.

Keesokan harinya, di heningnya dini hari pagi, saya sendirian tercenung membaca kata pengantar buku yang saya sebut “langka” , Kata Pengantarnya ditulis Jacob Utama, cuplikannya sebagai berikut:

“…Buku Jendela Bandung berikut ini mengajak kita semua untuk mengintip kembali perjalanan waktu selama ribuan tahun. Bagaimana dataran Tinggi Bandung tercipta dan juga manusia penghuninya berikut beragam tinggalan budayanya, sejak jauh sebelum masa prasejarah. Dilanjutkan dengan terbentuknya Bandung.

Dari sebuah dusun kecil dan kemudian berhasil tumbuh menjadi sebuah kota besar, pusat pemerintahan sipil sekaligus pusat pertahanan Hindia Belanda di masa colonial. Sampai akhirnya kepada perkembangan masa kini, ketika Bandung tumbuh menjadi pusat wisata nyaris segala-galanya. Sebagai pusat wisata belanja, wisata kuliner, dan juga wisata alam.

Dengan buku ini, Her Suganda mengenalkan keindahan mozaik warna-warni kehidupan masyarakat sekaligus pertumbuhan kota Bandung dengan kecermatan pengamatan sangat luar biasa.

Saya mengenal penulisnya, sejak masa awal ketika dia menjadi koresponden Kompas yang ditempatkan di Bandung, selama sekitar tiga puluh tahun lalu. Seorang koresponden yang tekun dan bersahaja. Atau kalau memakai kalimat popular, sederhana dalam penampilan tetapi dilimpahi pikiran sangat mulia. Dan tidak mungkin yang saya lupakan, saya lihat dia selalu menulis laporannya langsung dari lapangan, langsung dari bawah, langsung dari tengah kehidupan masyarakat.

Sebuah kata bersayap menyebutkan, seorang koresponden yang baik selalu berada dan senantiasa bersama masyarakatnya. Memahami kalbu masyarakat tempat tugasnya, mengenal detak jantung mereka dan juga mengetahui apa saja impian-impian masyarakatnya.

Semua persyaratan di atas, saya pribadi dan juga semua rekan sekerjanya sepakat, ada pada diri Her Suganda, Bahwa kemudian akumulasi seluruh pengalaman selama masa tugasnya di Bandung tersebut sekarang ini telah berhasil dia tuangkan dalam bentuk sebuah buku, tentu saja bakal membukakan sebuah jendela untuk kita semua, untuk semua khalayak pembacanya, menikmati perjalanan lintas waktu dan juga lintas zaman. Sehingga bisa menempatkan sosok Bandung menjadi semakin bermakna…”

Sebuah kata pengantar indah yang pernah saya baca, kata pengantar ini mampu mewujudkan imajinasi sebuah bangun jendela kota dalam benak saya menjadi nyata. Saya pun tidak sabar untuk segera menikmati perjalanan lintas waktu dan lintas zaman di sebuah kota yang bernama Bandung bersama keluarga tercinta…