Thursday, February 11, 2010

Keindahan Kawah Putih Gunung Patuha

Kawah putih berada pada ketinggian 2.149 meter di atas permukaan laut, merupakan bagian dari kawasan hutan lindung seluas 2.690,5 hektar dengan vegetasi khas kawah antara lain jenis jamuju, cantigi, dan paku-pakuan. Suhu kawah berkisar 18 -26 derajat celcius. Pada malam hari bisa mencapai 11 derajat. Tetapi sewaktu-waktu, suhu bisa turun secara mendadak sampai tiga derajat celcius. Pemandangan sekeliling menjadi gelap karena tertutup kabut.

Beberapa jenis binatang yang terdapat di sana antara lain sanca, burung hantu, surili, harimau dan serigala. Untuk keselamatan pengunjung dilarang memasuki daerah sekitar sawah selewat pukul 17.00



Kawah Gunung Patuha sering berubah warna, namun karena kawah yang memiliki campuran belerang cukup tinggi lebih sering berwarna putih seperti kapas, kawahnya dinamakan kawah putih. Tetapi pada lain kesempatan berubah menjadi hijau atau kebiru-biruan, tergantung dari keadaan cuaca di sekitarnya

Andai saja saya belum pernah mengunjungi Kawah Putih Gunung Patuha di kawasan Bandung Selatan, mungkin saya tidak akan bisa membayangkan kisah yang dialami oleh Dr. Franz Wilhem Junghuhn pada tahun 1837.

Saat  pertama kali membaca kisah tersingkapnya keindahan kawah putih oleh Dr. Franz Wilhem Junghuhn, imajinasi saya larut dalam bait-bait kalimat Her Suganda, penulis buku ‘Jendela Bandung’ yang secara cermat membimbing ingatan saya akan pengalaman menakjubkan saat secara tiba-tiba, setelah beberapa langkah menapak titian tangga paving block, dikejutkan oleh pesona hamparan sebuah danau kawah yang indah berwarna putih kehijau-hijauan.



Dikisahkan bahwa keindahan kawah putih pertama kali tersingkap berkat usaha Dr. Franz Wilhem Junghun yang sedang melakukan perjalanan di daerah Bandung Selatan pada tahun 1837.

Di suatu tempat yang agak sunyi yang terletak di sekitar Gunung Patuha, peneliti yang dijuluki “Humboltdt untuk Pulau Jawa” itu beristirahat sambil duduk termenung menikmati keindahan alam Ciwidey. Tetapi selama merenung, ia tidak habis pikir, mengapa tidak seekor pun burung yang terbang melintasi daerah sekitar gunung tersebut.



Junghuhn berpikir untuk beberapa waktu lamanya sambil terus mengamati daerah sekitarnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada pengantarnya, ia memperoleh jawaban yang tidak masuk akal. Katanya daerah tersebut sangat angker sehingga tidak seorangpun berani memasuki kawasan itu. Puncaknya yang seringkali berserlimut kabut putih, dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur dan merupakan wilayah kerajaan yang dikuasai makhluk jin. Pada salah satu puncaknya yang dinamakan Puncak Kapuk, terdapat makam para leluhur yang terdiri dari Eyang Jaga Satru, Eyang Rangsa Sadana, Eyang Camat, Eyang Ngabai, Eyang Barabak, Eyang Baskom dan Eyang Jambrong. Karena dianggap memiliki kesaktian, makam tersebut dalam waktu-waktu tertentu sering diziarahi.

Hingga kini, kepercayaan itu belum luntur. Masyarakat setempat masih mempercayai, jika sekali waktu melihat sekawanan biri-biri berbulu putih yang dipercaya merupakan jelmaan para leluhurnya. Binatang jadi-jadian itu dinamakan domba lukutan.

Mendengar kisah yang diceritakan pengantarnya, Junghuhn tidak bisa percaya dengan begitu saja. Pengalamannya selama menjelajah hutan dan mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa mendorong jiwa petualangannya mengunjungi tempat yang dianggap angker itu. Jalan aspal mulus sejauh enam kilometer yang kini membentang dari pintu masuk Bodogol di dekat pemandian air panas Cimanggu, sebelumnya merupakan hutan lebat. Junghuhn berusaha menerobosnya, sehingga pengantarnya ketakutan. Namun begitu sampai di kaki gunung, ia tertegun beberapa saat lamanya. Pandangannya terpesona tatkala menyaksikan pemandangan yang menakjubkan.



Di depan matanya, membentang sebuah danau yang sangat indah dengan bau yang menyengat. Airnya putih kebiru-biruan. Oi… betapa indahnya. Junghuhn segera menyadari, mengapa burung-burung menghindar terbang di atas puncak gunung tersebut. Jelas bukan karena angker, namun karena kandungan belerang kawah tersebut cukup tinggi. Baunya menyengat kuat.

Ketika terakhir kali kami mengunjungi Kawah Putih, Hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan dari ciwidey, untungnya saat kami tiba di lokasi hujan reda.  Hanya saja kabut tebal dan dinginnya udara membuat kami kedinginan.  Kami pun menyempatkan diri mampir di warung sekitar untuk menikmati jagung bakar dan segelas minuman bandrek yang hangat ... duh nikmaatnya!

1 comment: