Monday, February 8, 2010

“Buku Langka” Jendela Kota


(ilustrasi gambar dari buku "Bandung Digambar Euy")

"Waduh! Siapa yang nyimpen gelas Tupperware di atas buku langka ini??", kata saya agak sewot, maklum buku “Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas” merupakan buku yang sudah mulai agak susah didapat. Buru-buru saya ambil gelas yang masih berisi air tersebut. Di atas ‘cover buku ‘ yang saya sebut langka itu, nampak bulatan air bening membekas, ukurannya persis sebesar dasar gelas Tupperware.

Farhan, si sulung datang mendekat. "Paling-paling Ibu, Pak. Abis bapak sembarangan sih nyimpen bukunya". Nampak ibunya mesem-mesem di belakang Farhan, bangga di belain anak nya.

"Mana? Mana bukunya Pak? " Teriak si bungsu Silmi sambil merebut buku yang sedang saya lap pake baju kaos yang saya kenakan (hehehe, namanya juga emergency, P3BK “Pertolongan Pertama Pada Buku yang Kebasahan”).

Saya tidak jadi marah dan cuma tersenyum melihat tingkah laku kedua anak saya yang begitu antusias berebut buku yang saya sebut langka itu, Silmi merajuk ingin mendapat kesempatan pertama melihat buku, kakaknya mengalah. "Emang buku ini langka ya Pak?" Tanya Farhan sedikit menyelidik. Maklum bukunya masih terlihat baru dan bagus (tanda jarang di sentuh, hehehe) pokoknya jauh dari kesan kuno yang identik dengan istilah langka.

"Eh.. iya.. sudah agak susah nemuinnya tuh. Maklum, banyak orang yang nyari buku tersebut buat dikoleksi" , jawab saya. Farhan belum puas. Saya masih diberondong beberapa pertanyaan lanjutan, dimana belinya, berapa harganya, apa aja sih isi buku tersebut, kenapa orang pada mau ngoleksi, kenapa tidak dicetak ulang dan sederet pertanyaan lainnya yang saya jawab tuntas (tentunya dengan versi saya, intinya yang penting, buku ini langka…. Hahaha).

Silmi terlihat membolak-balikkan halaman buku. "Eehh… apa ini, kita kan pernah ke sini ya pak! Kak, lihat ini Kak, kita pernah ke sini kan?"

"Ooh… itu Sumur Bandung ya dek!" Farhan melihat gambar foto Sumur Bandung yang ditunjukkan Silmi.

"Iya… Sumur Bandung, kita kan pernah ke sini ya Pak?" Mata Silmi kelihatan berbinar ke arah Saya, Silmi seolah tidak percaya, buku yang ditangannya itu ternyata berisi sesuatu yang nyata, nyata dengan apa yang ia ketahui, ia rasakan dan ia alami, tangannya cekatan membolak-balikkan lembar-demi lembar halaman berikutnya.

“Bibit Kina, Pada Awalnya Hasil Curian”, maksudnya apa Pak? Tanya Silmi. "Baca aja dek, kan disitu ada ceritanya", Kata Saya. Dengan suara keras khas anak kls 1 SD, dibacalah kisah awal mula ditemukannya Kina sebagai obat malaria nun jauh di Amerika sana sampai proses kedatangan bibitnya ke Indonesia.

Sesekali saya dan istri, membantu menerjemahkan maksud kalimat yang dibaca Silmi. Farhan juga sesekali membantu adiknya yang kesulitan membaca istilah yang belum familiar buat seukuran Silmi.

"Ini dek, adek pernah lihat tempat yang di gambar ini nggak? "Tanya saya, sambil menunjukkan gambar sebuah Pabrik bercerobong asap.

"Pernah Pak! Itu kan deket rumah nenek!! Kak, lihat Kak, inikan deket rumah nenek kak!" Teriak Silmi kegirangan, dengan penuh semangat halaman buku diputar, diposisikan untuk dapat dilihat kakaknya dan… breeet…. lembar halaman yang berisi gambar tersebut robek tidak sanggup membawa sisa beban buku yang cukup tebal ke posisi yang dikehendaki. Silmi terdiam. Kakaknya Kaget, Ibunya terpekik, Saya langsung “NO COMENT”.

Hening sesaat. Silmi sedikit tertunduk, Farhan menyalahkan adiknya yang kurang hati-hati, "Ini buku langka lho dek! Makanya harus hati-hati". Silmi semakin menunduk, tidak ada perlawanan, Farhan langsung mengambil alih buku, dengan sangat hati-hati Farhan meneliti lembaran yang robek. Dari kejauhan saya melihat robekannya tidak terlalu parah.

"Sudah Kak tidak apa-apa, besok pas kita ke Bandung kita jalan-jalan sekitar Pabrik Kina ya" kata saya menenangkan suasana. "Sudah dek nggak apa-apa lain kali hati-hati ya kalau baca buku" ujar ibunya. Kini buku berada dibawah kendali Farhan, Silmi tidak bisa protes. Dengan sangat hati-hati Farhan membuka lembaran demi lembaran halaman yang menyajikan beberapa gambar foto yang sebagian besar tidak asing baginya. Silmi yang masih penasaran kembali curi-curi pandang ke arah lembaran halaman yang kini dikuasai Farhan.

"Oke… mulai minggu besok, kita kunjungi tempat-tempat yang ada di buku ini ya", kata saya.

"Horeeee … "Farhan dan Silmi berteriak girang, tidak sabar menunggu hari yang dijanjikan.

Keesokan harinya, di heningnya dini hari pagi, saya sendirian tercenung membaca kata pengantar buku yang saya sebut “langka” , Kata Pengantarnya ditulis Jacob Utama, cuplikannya sebagai berikut:

“…Buku Jendela Bandung berikut ini mengajak kita semua untuk mengintip kembali perjalanan waktu selama ribuan tahun. Bagaimana dataran Tinggi Bandung tercipta dan juga manusia penghuninya berikut beragam tinggalan budayanya, sejak jauh sebelum masa prasejarah. Dilanjutkan dengan terbentuknya Bandung.

Dari sebuah dusun kecil dan kemudian berhasil tumbuh menjadi sebuah kota besar, pusat pemerintahan sipil sekaligus pusat pertahanan Hindia Belanda di masa colonial. Sampai akhirnya kepada perkembangan masa kini, ketika Bandung tumbuh menjadi pusat wisata nyaris segala-galanya. Sebagai pusat wisata belanja, wisata kuliner, dan juga wisata alam.

Dengan buku ini, Her Suganda mengenalkan keindahan mozaik warna-warni kehidupan masyarakat sekaligus pertumbuhan kota Bandung dengan kecermatan pengamatan sangat luar biasa.

Saya mengenal penulisnya, sejak masa awal ketika dia menjadi koresponden Kompas yang ditempatkan di Bandung, selama sekitar tiga puluh tahun lalu. Seorang koresponden yang tekun dan bersahaja. Atau kalau memakai kalimat popular, sederhana dalam penampilan tetapi dilimpahi pikiran sangat mulia. Dan tidak mungkin yang saya lupakan, saya lihat dia selalu menulis laporannya langsung dari lapangan, langsung dari bawah, langsung dari tengah kehidupan masyarakat.

Sebuah kata bersayap menyebutkan, seorang koresponden yang baik selalu berada dan senantiasa bersama masyarakatnya. Memahami kalbu masyarakat tempat tugasnya, mengenal detak jantung mereka dan juga mengetahui apa saja impian-impian masyarakatnya.

Semua persyaratan di atas, saya pribadi dan juga semua rekan sekerjanya sepakat, ada pada diri Her Suganda, Bahwa kemudian akumulasi seluruh pengalaman selama masa tugasnya di Bandung tersebut sekarang ini telah berhasil dia tuangkan dalam bentuk sebuah buku, tentu saja bakal membukakan sebuah jendela untuk kita semua, untuk semua khalayak pembacanya, menikmati perjalanan lintas waktu dan juga lintas zaman. Sehingga bisa menempatkan sosok Bandung menjadi semakin bermakna…”

Sebuah kata pengantar indah yang pernah saya baca, kata pengantar ini mampu mewujudkan imajinasi sebuah bangun jendela kota dalam benak saya menjadi nyata. Saya pun tidak sabar untuk segera menikmati perjalanan lintas waktu dan lintas zaman di sebuah kota yang bernama Bandung bersama keluarga tercinta…

4 comments:

  1. kapan umum ke bandung lagi??

    ReplyDelete
  2. kasian Silmi, hehehe...

    yang sakit Silmi atau Farhan,Pak Pras? Semoga cepet sembuh ya, aamiin...

    ReplyDelete
  3. dua-duanya sakit mbak, badan demam panas tapi menggigil kedinginan, Alhamdulillah udah pada sembuh. Makasih ya...

    ReplyDelete