Friday, January 16, 2009

LEARN

Tulisan ini mengajak saya untuk belajar cara belajar, disarikan dari tulisan Vincent Friedmand dalam bukunya Seeds of Success.

Learn!

Look for
Explore
Act
Repetition
Neutral State

1. Look for (carilah) tingkat-tingkat yang ada di bawah permukaan. Cara terbaik untuk mencapai tingkat pemahaman yang paling dalam terhadap pokok permasalahan adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Lipatgandakan berbagai sumber daya kita. Bacalah buku, dengarkan audiotape, bukalah internet, pelajari biografi orang-orang yang telah mencapai kesuksesan sebelumnya dalam bidang tertentu, dan carilah mentor-mentor yang dapat membantu kita. Semakin beragam sumber informasi kita, semakin banyak tingkat-tingkat pokok persoalan yang dapat kita kuak. Saat kita memanfaatkan berbagai sumber yang telah kita kuak, sumber-sumber tersebut akan saling terbangun satu di atas yang lain untuk memberi kita jawaban yang lebih baik.

2. Explore (galilah) berbagai keterampilan dan hobi baru. Jangan menjauhkan diri karena kita berkata, “aku tidak dapat melakukannya.” Berilah kesempatan pada diri kita sendiri untuk mencoba berbagai keterampilan dan hobi baru. Dan kita akan terheran-heran pada segala sesuatu yang dapat kita pelajari. semakin banyak organisasi yang kita ikuti, semakin banyak orang yang akan kita temui, semakin banyak resiko yang kita ambil, semakin luas cakrawala yang terbuka bagi kita, dan semakin banyak kita belajar tentang diri kita sendiri dan dunia tempat kita hidup.

3. Act (bertindaklah). Ada dua jalan tindakan; langkah demi langkah, dan terjun sekalian. Keduanya benar. Jika proyeknya besar, maka cara terbaik untuk melakukannya adalah membagi-baginya menjadi langkah-langkah kecil, mempelajari bagaimana caranya melakukan satu langkah pada satu waktu, dan kemudian menyatukan seluruh proyek tersebut pada akhirnya. Bila dilakukan dengan jarak satu kilometer itu merupakan cobaan berat, dengan jarak satu hasta itu sulit, maka dengan jarak satu inci, itu pasti dapat dilakukan dengan mudah. Sebaliknya, ada saat ketika terjun langsung dalam suatu proyek, meskipun kita tidak siap 100 persen, justru lebih efektif. Kadang persoalan tampak begitu besar di hadapan kita. Kita menunda mengambil tindakan karena kita ingin memahami persoalan tersebut secara utuh dan tahu bahwa kita telah menganalisis setiap kemungkinan solusi. Namun demikian, menjelang saat itu, persoalan itu telah menenggelamkan kita sepenuhnya. Cara yang terbaik adalah langsung bertindak dan terus bertindak, sampai kita tampil dengan solusi yang lebih baik. Terus menerus belajar dan terus menerus bertindak. Kedua-duanya adalah sama, keduanya diperlukan. Kita belajar dari tindakan-tindakan kita, kita bertindak dari apa yang kita pelajari.

4. Repetition (mengulanglah). Agar dapat menyempurnakan suatu keterampilan, kita harus praktek. Kita harus mengulang suatu tindakan sampai tindakan tersebut menjadi sifat yang kedua. Semakin banyak kita praktek, semakin dalam keterampilan tersebut tertanam dlam diri kita. Bila itu yang terjadi, maka itu akan menajdi landasan bagi kita untuk membangun keterampilan-keterampilan yang lain. Begitu kita sampai pada suatu titik dimana kita dapat mengambil tindakan tanpa berpikir, kita siap belajar langkah berikutnya.

5. Neutral state (bukalah pikiran dengan netral) Filsuf Perancis Bacon pernah berkata, “Jika seseorang memulai dengan ketidakpastian, dia akan berakhir dengan keraguan, tetapi jika dia puas untuk memulai dengan keraguan, dia akan berakhir dengan kepastian.” Satu-satunya cara untuk belajar adalah dengan pikiran terbuka, dari sudut pandang yang netral. Dengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, tetapi jangan beranggapan bahwa apa yang mereka katakana kepada kita merupakan satu-satunya cara. Selalu bukalah pikiran kita, jangan biarkan segala stereotype atau gagasan-gagasan yang kita peroleh sebelumnya menghalangi kita untuk menerima informasi yang baru. Lihatlah pada semua sisi suatu topik sebelum kita membulatkan pikiran kita. Jangan berasumsi bahwa seseorang benar sebelum kita mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain.
Kisah berikut dapat dijadikan bahan renungan;
Dua orang yang sedang bertikai mendatangi seorang hakim. Orang yang pertama menuturkan ceritanya. Kata hakim, “itu benar.” Lawannya, yang merasa terganggu dengan opini tersebut berkata,”Tuan belum mendengarkan sisi cerita saya.” Dia menuturkan ceritanya dan hakim pun menjawab, “Itu benar.” Orang yang ketiga berkata, “Bagaimana keduanya bisa benar?” Hakim berpikir tentang komentar orang yang ketiga dan katanya, “Itu benar.” (cerita ini dikutip olehVincent Friedman dari Ellen J. Langer, The Power of Mindful Learning).

Thursday, January 15, 2009

Tak ada yang Dikerjakan dan Semua Orang Dipenuhi

Malam hari saat hujan deras mengguyur kota Bekasi dan sekitarnya, saya tergerak untuk membaca sebuah buku yang sudah bertahun-tahun dibeli dan tidak disentuh “Tao Kehidupan - Tao Te Ching- ajaran Lao Tzu yang Diadaptasi untuk Zaman Baru”, ditulis oleh Ray Grigg, seorang sarjana Tao yang telah lebih dari duapuluh tahun menjadi guru sejarah literature Inggris, kesenian, sejarah kebudayaan, dan agama-agama dunia di sistim sekolah menengah atas di British Columbia.

Saya sendiri bingung, mengapa saya dulu membeli buku seperti ini. Saya mencoba membuka lembaran-lembaran memori yang terekam dalam ingatan, hasilnya? Saya jadi tersenyum geli, beli dengan tujuan ingin menjadikan buku ini sebagai bahan renungan harian.

Saya ingat, hari pertama membaca, saya langsung pusing tujuh keliling. Saya sepertinya capek untuk memahami apa yang harus dipahami, lelah merenungkan apa yang harus direnungkan, saya malah seperti ditonjok beban baru yang seharusnya tidak harus menjadi beban. Saya ambil jalan pintas. Hentikan Baca Buku ini! Toh tidak membaca buku inipun kehidupan tetap berjalan hehehe.

Lantas kenapa malam ini saya kembali tergerak untuk mencomot buku ini dan membacanya? Bukankah Cuma nambah-nambah kepusingan saja? Entahlah, yang saya tahu, saya kembali tersenyum, saat membaca sebait kalimat Pendahuluan dalam buku ini yang menuturkan bahwa;

TAO KEHIDUPAN: Buku Panduan Berpikir dan Berbuat diperuntukkan bagi semua orang yang tahu bahwa mereka tidak tahu. Ini adalah buku panduan yang tidak mungkin tuntas. Tidak seperti berpikir dan Berbuat di sekolah dasar, buku ini memuat pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab dan jawaban-jawaban yang tidak dapat diberikan. Kita harus mengoreksinya sendiri.”

suatu penuturan yang membingungkan… selanjutnya saya meloncat keparagraf yang kira-kira menjelaskan kenapa bisa membingungkan.

Sifat Tao Te Ching yang membingungkan pada dasarnya adalah karena kesadaran Lao Tzu bahwa kita memahami kehidupan dengan secara langsung mengalaminya, bukan dengan berusaha memahaminya sebagai pengamat yang tidak langsung terlibat. Kita tidak mungkin lepas dari diri sendiri. Kalau menggunakan bahasa perlambang Zen, sebuah pedang tidak mungkin melukai dirinya sendiri. Kitapun tak mungkin memahami kehidupan lewat seperangkat rancang bangun intelektual; kehidupan itu lebih besar dan lebih tak terjangkau daripada sistim-sistim yang kita ciptakan untuk menjelaskannya. Maka kita takkan pernah sungguh-sungguh memahami diri sendiri maupun alam semesta dimana kita hidup. Tao adalah kebebasan yang muncul bersamaan dengan ketidak-pahaman.”

Malam semakin larut, Hujan deras yang baru saja reda kini kembali turun deras, suatu tipikal hujan yang sudah berlangsung sejak 12 Januari 2009, deras, reda, deras, reda.

Saya tidak melanjutkan membaca penuturan pendahuluan penulis buku yang mungkin merupakan kunci didalam membaca bab-bab berikutnya yang berjumlah 81 bab.

Saya hanya ingin berbagi , bab-bab dalam buku ini ditulis secara singkat, beginilah kira-kira bunyi tulisan salah Satu Bab yang ada dalam buku bersampul hijau ini bertutur:

17. Tak Ada yang Dikerjakan
Cobalah memimpin dengan memaksa, maka akan ada perlawanan serta pemberontakan. Bersikaplah murah hati dan adil, maka akan ada kehormatan lalu kepercayaan.
Tetapi lebih tinggi lagi adalah kebajikan yang tidak kelihatan, tak dapat didefinisikan dan tak dapat dikenali. Kalau dipraktekkan, segalanya tetap utuh. Tak ada keterpisahan dari satu sama lain, upaya dari kemudahan, kerja dari bermain. Tak seorangpun memimpin dan tak seorangpun mengikuti. Tak ada yang dipelihara tetapi ada kesibukan dan keharmonisan.
Orang bijak, yang tidak menonjolkan diri dan tidak banyak bicara, tidak diperhatikan orang. Tetapi entah bagaimana, semua orang memetik manfaat. Ada pertumbuhan serta keberbuahan, kebanggaan serta kecukupan diri. Ketimbang mengatakan “ini dikerjakan oleh Kami”, semua mengatakan , “Kami yang mengerjakan ini”. Ketimbang mengatakan , “Kami diajarkan begini”, semua orang mengatakan , “Kami belajar begini”. Kalau dianggap sebagai orang sendiri, tak mungkin ada penolakan. Tanpa penolakan takkan ada pemberontakan. Tanpa pemberontakan akan ada kedamaian serta pemupukan yang mendalam.
Bahkan sedari mula tak pernah ada saat ketika segalanya tidak sibuk memenuhi dirinya sendiri. Orang bijak tidak menghalangi apa yang sudah ada sedari dulu. Demikianlah tak ada yang dikerjakan dan semua orang dipenuhi”.


Dan setelah membaca bab 17 ini, saya tetap kebingungan hehehe...

Thursday, January 8, 2009

Kurang Pengalaman? Carilah!

Saya sering mendapat telepon penawaran produk dari beberapa bank dan asuransi secara bertubi-tubi, walaupun sering saya tolak, mereka tetap menelepon dihari-hari berikutnya. Benar-benar gigih dan tekun, kondisi ini mengajarkan saya untuk bersabar menerima telepon mereka dan menolaknya.

Berikut ini kisah lain tentang ketekunan dalam menghadapi penolakan! Walaupun dapat sangat mengganggu orang lain, tetapi dapat juga memberikan imbalan yang sangat besar.

Berikut kisahnya :

Walaupun Bob diterima di Harvad law School, ia lebih memilih jurnalisme sebagai jalan hidupnya, ia ingin bekerja di Washington Post. Sayangnya Editor di Koran itu tidak tertarik menyewa seseorang dengan pengalaman yang begitu sedikit. Akan tetapi, Bob meyakinkan sang Editor untuk mempekerjakan dirinya selama dua minggu tanpa bayaran hanya untuk melihat apa yang dapat ia lakukan.

Di akhir minggu ke dua, tidak ada satu pun berita Bob yang naik cetak. Sang Editor merasa Bob adalah orang yang cerdas tetapi kurang pengalaman untuk menjadi jurnalis. Ia mengatakan pada Bob bahwa akan butuh banyak energi untuk melatihnya. Ia menyarankan Bob untuk mencari pengalaman dan datang lagi setahun kemudian.

Bob melakukan itu. Ia mengambil pekerjaan di saingan Washington Post, dan tidak lama kemudian, mulai melompat ke berita, mengalahkan wartawan Washington Post.

Setelah beberapa bulan, Bob mulai menelepon Washington Post lagi, tetapi sang Editor tidak bersedia menerima teleponnya. Bob menemukan nomor telepon rumah sang Editor dan meneleponnya pagi-pagi di hari Sabtu. Saat sang Editor mengeluh pada istrinya bahwa ia lelah menghadapi editor muda yang mengganggunya. Istrinya merespons, “bukankah orang semacam itu yang kamu selalu bilang kamu cari?”

Sang editor akhirnya setuju dan mempekerjakan Bob.

Kisah di atas adalah kisah dari Bob Woodward, jurnalis terkenal kelas dunia dan penulis yang menulis berita skandal Watergate, yang menyebabkan pengunduran diri Presiden Richard Nixon.

(dikutip dari buku Keberuntungan Bukanlah Kebetulan Karya John D. Krumboltz, Ph.D. dan Al S. Levin, Ed.D.)

Tuesday, January 6, 2009

Semangat yang tak Kunjung Padam

Setelah puas keliling museum di kota tua Jakarta, malamnya kami menyempatkan diri untuk nonton pagelaran wayang orang di Gedung Wayang Orang Bharata Jalan Kalilio No. 1 Senen.

Diluar gedung nampak mobil sudah banyak yang parkir, beruntung saya mendapat posisi parkir yang strategis, tidak terlalu jauh dengan pintu masuk gedung pertunjukan. Di depan pintu masuk, terpampang Lakon Wayang yang akan digelar malam itu “Bambang Pramusinta”. Saya tidak terlalu memikirkan lakon pagelaran, yang penting nonton.

Ini kali pertama kami sekeluarga nonton pagelaran wayang secara life, saya sedikit berjuang untuk bisa menembus kerumunan orang yang berjubel membeli tiket. Semula kami menyangka tiket yang ditawarkan berkisar seratus ribuan rupiah, maklum biaya operasional sebuah pagelaran yang melibatkan banyak orang pastilah membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Ternyata, ya ampun… tiketnya hanya Duapuluh ribu rupiah!!!

Setelah menyerahkan tiket pada petugas, kami memasuki ruang pertunjukan berkapasitas 280 orang dengan sukacita. Panggung masih ditutupi tirai merah menjuntai.



Gamelan mengalun lembut melantunkan tembang jawa, menyambut kedatangan penonton yang sangat antusias.

Kami duduk di deretan bangku belakang berpencar dalam 3 kelompok, sulit bagi kami mendapat tiket dalam satu deret kursi, maklum penontonnya full house. kursi di deretan depan dan tengah sudah sesak oleh penonton yang sebagian besar orang tua yang mengajak anak-anak dan cucunya.

Beberapa orang terlihat masih sibuk menata posisi duduk yang nyaman. Anak sulung saya yang masih kelas 5 SD duduk dideretan bangku paling belakang sederet dengan saudara sepupunya yang hampir sebaya beserta pakde dan mbak yang membantu di rumah, saya beserta istri di deretan depannya, sedangkan anak bungsu saya yang masih TK B di depan saya sederet dengan eyang dan nenek beserta tantenya.

Pukul 20.30. acara dibuka oleh sekelompok wanita yang menari dengan anggun, dan pagelaranpun dimulai.

Walaupun tidak mengerti secara keseluruhan jalannya cerita, ada kenikmatan tersendiri bisa nonton wayang orang secara life. Saya begitu menikmati setiap gerakan penari yang begitu professional menyuguhkan kemampuannya didalam mementaskan adegan peradegan. Anak saya yang TK juga menyimak adegan per adegan bahkan sesekali terlihat bertanya pada kedua eyang yang duduk disamping kiri kanannya.

suasana berubah penuh gelak tawa ketika punakawan mulai beraksi. walau tidak begitu paham dengan bahasanya, anak saya ikut ketawa melihat aksi kocak mereka.



Selama pertunjukan, penonton bebas untuk makan dan minum, bahkan penjual nasi goreng di depan gedung dengan bebas berseliweran keluar masuk ruang pertunjukan sambil membawa nasi goreng dan minuman botol pesanan penonton. Suasana yang begitu merakyat dan mengharukan.



Seusai pertunjukan kedua anak saya mengomentari panjang lebar pementasan yang baru saja dilihatnya, eyangnya menceritakan secara garis besar mengenai jalannya cerita. Dari situ saya paham, betapa dalam makna filosofi yang terkandung didalamnya.

Saya kagum kepada Kelompok Wayang Orang Bharata, Siapa sangka di Jakarta yang terkenal dengan gemerlap hiburan malam, ternyata masih menyimpan permata kesenian tradisional wayang orang yang menjadi hiburan tiga generasi, mereka begitu bersemangat, tidak terpengaruh dengan masalah kecilnya pendapatan dari penjualan tiket murah yang jelas sulit untuk menutup biaya operasional (walaupun full house).

Salut kepada Kelompok Wayang Orang Bharata, saya berterimakasih kepada mereka, berkat semangat mereka yang tak kunjung padam, saya dan keluarga dapat menikmati permata warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, semoga tetap lestari…

Sunday, January 4, 2009

Historia Docet

Sabtu tanggal 3 Januari 2009, kami sekeluarga jalan-jalan ke kota tua Jakarta. Gedung pertama yang kami kunjungi adalah Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan terakhir Museum Wayang(kunjungan di museum terakhir ini pulalah yang membuat kami penasaran untuk nonton pagelaran Wayang Orang Bharata di Jalan Kalilio No. 1 Senen pada malam harinya).

Saat menelusuri kota tua, kami sempat mengambil gambar sebuah gedung berlantai dua di kawasan kota tua yang sudah tidak terawat.



Di atas salah satu jendela lantai dua gedung tersebut terdapat ornamen yang menyita perhatian saya.



Keesokan harinya, saya segera mengambil buku*) yang saya yakini memuat ornamen tersebut dan mencocokannya.

Ternyata ornamen tersebut adalah lambang Batavia, kota yang dulunya Jayakarta (VOC menyebutnya Jacatra ). Lambang ini ditetapkan pada 15 Agustus 1620



Lambang itu berupa perisai berwarna “oranye” campuran merah dan kuning, yang di tengahnya tergambar sebilah pedang. Pedang ini dilingkari sebuah “krans” dedaunan berwarna hijau kecoklatan, yang dua sisi bagian bawahnya dihiasi pita.

Pita ini sebenarnya baru muncul pada lambang Batavia yang tertera pada mata uang tahun 1643. Lambang Kota Batavia menggunakan semboyan Jan Pieterszoon Coon “Diespereert Niet”, jangan putus asa. Jan Pieterszoon Coen dua kali menjadi Gubernur Jenderal (1619-1623 dan 1627-1629).

Kendati lambang itu sekarang tidak dipakai lagi, namun seluk-beluk tentang lambang itu masih tetap menarik dan berguna untuk diketahui, setidak-tidaknya dalam kaitannya dengan sejarah negeri kita. “HISTORIA DOCET”, Sejarah itu Mengajar!

*)Buku dari Buku ke Buku sambung menyambung menjadi satu karya P.Swantoro, memuat Lambang-Lambang Kota Praja Hindia Belanda tahun 1930 an

Saturday, January 3, 2009

Seberapa Tua atau Seberapa Muda?

Ini kisah tentang seseorang yang sering mengeluh tentang usia. Didapat saat membaca buku Berpikir dan Berjiwa Besar karangan David J. Schwartz, Ph.D.

Keluhan ini merupakan penyakit kegagalan tidak pernah merasa di usia yang tepat. Penyakit ini muncul dalam dua bentuk yang mudah di identifikasi: variasi dari “saya terlalu tua”, dan tipe “saya terlalu muda”.

Penyakit ini tanpa disadari menutup pintu ke peluang sesungguhnya bagi jutaan manusia. Mereka berpikir bahwa usia mereka salah, sehingga mereka tidak mau mencoba.
Apakah penyakit ini bisa disembuhkan? Simak kisah di bawah ini:

Cecil, Seorang trainer, ingin beralih profesi menjadi representative perusahaan, tetapi ia berpikir terlalu tua. “Lagi pula”, dia menjelaskan, “saya harus memulai dari awal. Dan saya terlalu tua untuk itu saat ini. Saya sudah berusia 40 tahun”.

Beberapa kali sang konselor yang juga teman Cecil berbicara dengan Cecil tentang masalah “usia tuanya” sang konselor menggunakan obat lama, “Cecil, anda hanya setua yang anda rasakan”, namun sang konselor pun menyadari bahwa itu tidak akan berhasil (maklum terlalu sering ia pergunakan dan jawabannya selalu sama “Tapi saya merasa tua!”)

Akhirnya, sang konselor menemukan metode baru yang diyakininya bakal mujarab.

Suatu hari seusai sesi pelatihan, sang konselor mencoba metode barunya pada Cecil.
Sang konselor berkata,” Cecil, kapan kehidupan produktif seseorang dimulai?” dia berpikir beberapa detik dan menjawab, “oh, kurasa ketika kira-kira usia 20 tahun.”
“Baiklah,” kata sang konselor, “sekarang kapan kehidupan produktif seseorang berkahir?”
Cecil menjawab, “Hmm, jika dia masih sehat dan menyukai pekerjaannya, kurasa seseorang masih cukup berguna pada usia 70 tahun atau sekitar itu.”
“Baiklah,” sang konselor berkata, “Banyak orang sangat produktif setelah mencapai usia 70, tapi marilah kita sepakat dengan apa yang baru saja anda katakan, tahun-tahun produktif seorang adalah antara 20 sampai 70. Berarti terdapat rentang 50 tahun atau separuh abad. Cecil,” sang konselor berkata, “anda 40 tahun. Berapa tahun kehidupan produktif sudah anda lalui?”
“Dua puluh,” jawab Cecil
“Dan berapa tahun tersisa?”
Tiga puluh,” jawabnya.
“Dengan kata lain, Cecil, anda belum mencapai separuh perjalanan tersebut, anda baru menggunakan 40 persen dari tahun-tahun produktif anda.”

Sang konselor menatap Cecil dan menyadari bahwa Cecil mulai menangkap maksudnya.
Cecil tertawa bahagia, ia telah sembuh dari alasan usia. Cecil sadar bahwa ia masih mempunyai banyak sisa tahun-tahun berisi peluang. Dia beralih dari berpikir “saya sudah tua,” menjadi “saya masih muda.”

Sekarang Cecil menyadari bahwa seberapa tua kita tidak penting. Sikap terhadap usia lah yang membuat usia menjadi suatu berkah atau sebaliknya, sebuah hambatan.

Selamat Tahun Baru 2009!!!