Tuesday, June 16, 2009

Situs Sumur Bandung


Pada hari Minggu pagi beberapa bulan yang lalu , saya sekeluarga untuk pertama kalinya mengunjungi salah satu situs yang sangat berkaitan erat dengan kelahiran kota Bandung, Sumur Bandung!

Tidak banyak orang tahu, salah satu tempat di pelataran parkir gedung pertemuan Sumur Bandung yang terletak di sisi barat sungai Cikapundung terdapat sumur yang dinamakan Sumur Bandung. Bentuknya sama dengan sumur-sumur pada umumnya, kecuali perlakuan yang diberikan keramat.

Bagian atas sumur tersebut diberi cungkup penutup dan dikelilingi rantai pembatas.




Pada salah satu sisinya terdapat prasasti bertuliskan:



“Sumur Bandung Mere Karahayuan ka Rahayat Bandung
Sumur Bandung Mere karahayuan ka Dayeuh Bandung
Sumur Bandung Kahayuning Dayeuh Bandung
Ayana di Gedung PLN Bandung.”
Bandung 25 Mei 1811
Raden Adipati Wiranata Kusumah II

Dari berbagai sumber yang saya baca, Sumur Bandung dipercaya memiliki hubungan sejarah dengan berdirinya Kota Bandung.

Salah satu versinya adalah sebagai berikut: dikisahkan sebelum menemukan tempat yang cocok dijadikan ibu kota yang baru, bupati dan rombongan menyusuri Sungai Cikapundung lalu beristirahat di salah satu tempat yang letaknya di sisi barat sungai tersebut. Pandangannya diarahkan ke segala penjuru, meneliti kalau-kalau terdapat tempat yang diinginkan. Ketika ia menancapkan tongkatnya, tiba-tiba dari lubang kecil bekas tongkat tersebut keluar air yang sangat bening.

Tepat di lokasi mata air tersebut kemudian dibuatkan sumur dan kemudian dinamakan Sumur Bandung.

Pada tahun 1930-an, diatas tanah seluas 3.945 m2 itu didirikan bangunan bertingkat langgam Indo-Europesch Architectural Stijl yang mengambil tema bentuk perahu lengkap dengan jendela-jendela bulat mirip tingkap dan menara mirip cerobong asap hasil rancangan C.P. Wolff Schoemaker. Setelah diresmikan pada tanggal 26 Oktober 1939, bangunan yang seolah-olah nampak mengambang dipinggiran sungai cikapundung yang mengalir didekatnya itu, kemudian ditempati N.V. Gebeo, Perusahaan Listrik Hindia Belanda.

Bekas gedung Gebeo yang kemudian dijadikan kantor PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jawa Barat itu, berada disudut pertigaan Jalan Asia-Afrika dengan jalan Cikapundung.



Gedung PLN ini walaupun memiliki arsitektur yang khas, memang tidak seterkenal Gedung Merdeka tempat konferensi Asia Afrika yang legendaris itu, padahal lokasinya sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh aliran sungai cikapundung dan Jalan Cikapundung. Pada ilustrasi gambar di atas, di sudut kanan gambar nampak berjejer deretang tiang bendera gedung Merdeka, hal ini menunjukkan betapa berdekatannya kedua gedung tersebut. (berhubung saya tidak punya stok foto Gd. PLN, saya menampilkan ilustrasi gambar gedung yang diambil dari Buku "Bandung Digambar Euy" terbitan Art Paper Publishing House- Bandung).

Sumur Bandung di lantai dasar Gedung PLN, airnya masih tetap bening dan tidak pernah kering walaupun Kota Bandung mengalami kemarau panjang.

Pada hari-hari tertentu, sumur ini banyak dikunjungi para penjiarah yang datang dari Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat. Bahkan ada yang berasal dari Jawa Tengah dan Sumatera.



Pada saat kami mengunjungi sumur Bandung, suasananya sepi tidak ada aktivitas khusus berkaitan dengan sumur tersebut.

Kami ditawari untuk mencoba air sumur Bandung “Mau ambil airnya Pak?”, Tanya satpam gedung, saya menolaknya secara halus, saya hanya ingin mengajak istri, anak dan orang tua saya untuk mengenal situs bersejarah yang tidak banyak orang mengenalnya.

Monday, June 15, 2009

Segarnya Wedang Secang

Resep wedang secang ini saya dapat dari pameran flora dan fauna di lapangan Banteng Jakarta kalau tidak salah sekitar tahun 2004 lalu (biasanya pameran flora dan fauna diselenggarakan setiap bulan Agustus).

Resepnya ditulis dalam selembar kertas warna hijau dan dikemas dalam plastik dengan beberapa rempah-rempah seperti; kayu secang, Cabe Jawa, Kemukus, Kapulaga, Cengkeh, kayu manis, sereh dan jahe. Konon wedang secang merupakan ramuan tradisional yang dapat menyegarkan tubuh hehehe.

Resep itu sekarang sudah hilang, namun untuk sekedar melepas kangen, saya sering mencobanya (dan kadang-kadang juga saya bikin saat tamu keluarga datang ke rumah).
Bahan wedang secang mudah di dapat. Saya membelinya di Pasar Jatinegara.

Resepnya mudah diingat, hampir semuanya serba lima dan satu;

1. Lima biji Cabe Jawa
2. Lima biji Kemukus
3. Lima biji Kapulaga
4. Lima biji cengkeh
5. Satu ruas jari jahe
6. Satu potong kayu manis secukupnya
7. Satu jumput kayu secang secukupnya
8. 3 s.d. 5 gelas air putih (bergantung selera kepekatan ramuan), saya lebih menyukai 5 gelas.



Kesemua bahan tersebut dicuci bersih dan tiriskan (kecuali air, sebaiknya air tidak usah dicuci dan ditiriskan ya hehehe). Sebenarnya masih ada satu bahan lagi yaitu sereh, tetapi saya jarang menggunakannya.

Rebus seluruh bahan hingga mendidih. Agar sari atau zat-zat yang terkandung dalam rempah-rempah tersebut keluar secara maksimal, gunakan api kecil. Tunggu hingga mendidih dan aroma harum tercium oleh kita.

Wedang secang ini warnanya merah, warna merah ini berasal dari kayu secang.

Untuk merebusnya, sebaiknya gunakan alat perebus yang terbuat dari gerabah, saya punya dua gerabah 1 yang besar khusus untuk merebus jamu dan 1nya lagi yang lebih kecil untuk membuat wedang secang.

Gerabah yang sering saya gunakan untuk membuat wedang secang semakin lama semakin harum, mungkin ini salah satu keunggulan dari gerabah yang cenderung menyimpan aroma.



Wedang secang bisa disajikan panas atau dingin. Untuk pemanis rasa, kita bisa menggunakan gula batu, gula putih atau bisa juga madu. Saya menggunakan madu. Gula batu, gula putih atau madu tidak turut direbus, tetapi dicampur tersendiri dalam gelas.

jika dinikmati siang atau sore tambahkan Es batu, kesegaran alami bakal kita dapatkan, wah… jadi pengen bikin wedang secang lagi nih.

Sunday, June 14, 2009

Sentra Pembuatan Angklung Udjo
















Saung Angklung Udjo!

Itu yang pertama kali terbetik dalam benak saya saat memutuskan untuk membeli seperangkat angklung set kecil dua oktaf.

Ya, Saung Angklung Udjo Jalan Padasuka 118 Bandung, selain berperan sebagai tempat kunjungan budaya dan wisata khas daerah Jawa Barat juga merupakan sentra produksi alat musik tradisional yang sebagian besar berbahan baku bambu seperti angklung, arumba, dan calung.

Ada 3 jenis bambu yang menjadi Bahan dasar angklung seperti; bambu hitam (awi wulung) untuk tabung suara, bambu tali (awi tali) untuk tabung rangka, dan bambu gombong (awi gombong) untuk rangka angklung sedangkan pengikat rangka adalah tali berbahan rotan. Semua bahan baku pembuatan angklung didatangkan dari daerah lain di Jawa Barat seperti Sukabumi.



Angklung mini 2 oktaf yang saya pesan disebut juga sebagai angklung TK (Taman Kanak-Kanak) terdiri dari 18 pcs Nada mulai dari F-g-a-ais-b-c’-d’-e’-f’-fis-g’-a-ais’-b-c’’d’’-e’’-f’’. Harganya berkisar Rp. 354.000,- lengkap dengan tiang/standnya.

Disebut angklung TK karena angklung ini berset kecil dan banyak dipesan oleh Taman Kanak-Kanak sebagai alat pembantu pengenalan musik secara dini.

Karena ditujukan untuk anak TK dan untuk alasan keamanan, maka rangka bambu angklung yang menjulang ke atas ditutup. “Bisi Kacolok Panonna ceunah” takut tertusuk matanya katanya.

Mengunjungi sentra pembuatan angklung Udjo di Padasuka Bandung memberikan pengalaman tersendiri bagi kami. Kami jadi tahu bahwa seluruh tahap pembuatan angklung murni menggunakan tenaga manusia (hand made), untuk akurasi nada, Saung Angklung Udjo menggunakan tuner elektronik dan untuk menghindari ketidakseimbangan nada, sebelum diserahkan kepada konsumen, angklung di retuning .

Begitu pula dengan angklung pesanan kami, setelah diretuning angklung dibersihkan kembali dan di pernis transparan agar lebih awet, seperti tampak pada foto di bawah ini.



Yang lebih mengesankan lagi, guna menghindari kecacatan dalam proses pengepakan yang berpengaruh pada nada angklung itu sendiri, Saung Angklung Udjo saat mengepak angklung memperlakukan angklung dengan sangat hati-hati.



Sambil melihat-lihat suasana di sekitar Saung Angklung Udjo yang asri, saya sempat mencoba Jenis angklung pentatonik, nada nya salendro yaitu nada asli angklung Sunda yang terdiri dari Da- Mi- Na- Ti- La-Da, sangat mengharukan, sedangkan Jenis angklung yang saya beli adalah angklung dengan laras nada diatonik. Angklung berlaras diatonik diciptakan oleh Bapak Daeng Soetigna (Alm) pada tahun 1938. Angklung dengan laras diatonik ini disebut juga dengan angklung Do Re Mi atau angklung Padaeng. Angklung jenis diatonik inilah yang bisa digunakan untuk membawakan lagu daerah, nasional dan bahkan internasional.

Saya memilih angklung sebagai alat musik dirumah karena sifat angklung yang 5M; Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Masal.

Kami sekeluarga puas dengan kualitas angklung buatan Saung Angklung Udjo.

Thursday, June 11, 2009

I Scream for Ice Cream

Bulan Mei lalu Silmi, anak saya yang masih duduk di bangku TK merengek minta es krim. “itu lho Pak es krim yang enak di campur-campur pake jeli, permen coklat sama caramel”

“Ayo dong Pak, Bu, ke Bandung!” rengek Silmi.

Ini merupakan rengekan yang kesekian kalinya di bulan Mei, kayaknya Silmi mulai cocok dengan motto Plang Toko Es Krim di Jalan Hariangbanga ini Hehehe.


Sebelumnya kami sekeluarga memang pernah mengunjungi toko es krim ini, kami direkomendasikan oleh teman sekantor untuk mampir dan mencoba es krim marble salah satu produk andalan “I Scream for Ice Cream” , hasilnya… ya itu tadi, pengen lagi dan lagi.

Untuk mencegah terjadinya jeritan histeris berkepanjangan demi semangkok es krim, akhirnya kami putuskan untuk segera ke Bandung.

Perjalanan Bekasi Bandung ditempuh 1 jam setengah. Sesampai di Bandung kami menyempatkan diri untuk menjemput nenek Silmi dan langsung menuju ke Hariangbanga.

Secara keseluruhan toko ini cukup asri dan nyaman, terletak di Bandung utara dekat dengan kampus Unisba dan Jalan layang Paspati Bandung, lokasinya cukup sepi dan jalannya tidak terlalu besar. Tokonya sendiri merupakan bangunan tempat tinggal peninggalan jaman Belanda tempo dulu yang disulap jadi gerai es krim.

Kursi tua, meja marmer dan lantai teraso warna kuning bermotif memberikan asmosfir kental nostalgia tempo dulu.


Eskrim marble plus toping jeli, permen coklat, kacang, karamel dan sebagainya langsung kami pesan.

Dan kurang lebih seperti inilah pesanan es krim marble kami diolah di atas marmer beku berselimut bunga es;




setelah eskrim pilihan kami (es krim coklat) dituang ke atas meja marmer beku, toping jeli, permen warna-warni isi coklat, karamel dan kacang dicampurkan dengan es krim dan diolah dengan terampil. Sungguh atraksi kuliner yang menarik.






Beberapa saat kemudian, es krim marble pun siap untuk disantap dan emang enak untuk dinikmati bersama.

Secara umum Pengunjung I Scream for Ice Cream tidak terlalu ramai, namun pada waktu2tertentu biasanya datang rombongan yang memang berniat untuk mampir berwisata kuliner di Kota Bandung. Mau Mencoba?

Praktek Teknik Membalik Piring di Jalan Tol

Ini bukan kisah tentang teknik menari Tari Piring di jalan tol, ini kisah tentang teknik menghadapi keadaan dalam situasi tertentu.

Dulu sewaktu masih berstatus mahasiswa sekitar tahun tahun 90 an saya pernah membaca tulisan dalam sebuah buku yang judul dan pengarangnya lupa. Yang saya ingat tulisan di buku tersebut memaparkan sebuah teknik mengubah sikap yang disebut dengan “Teknik Membalik Piring”

Teknik ini intinya mengajak kita untuk selalu berpikir positif. Ibarat sebuah piring yang memiliki permukaan positif dan negatif, apabila permukaan negatif yang terlihat, maka baliklah piring tersebut sehingga permukaan positifnya yang terlihat.
Baru-baru ini saya pernah mempraktekannya;

Terjebak dalam kemacetan di jalan tol. Tol macet total karena ada tabrakan beruntun antara bus dan beberapa buah sedan. Bus melintang sehingga tidak ada satu mobilpun yang bisa melaluinya. Diperlukan beberapa jam untuk bisa mengevakuasi bus agar aliran kendaraan bisa berjalan normal.

Mengikuti teknik membalik piring, saya mencoba untuk bersikap sebagai berikut ;
Pertama; adalah suatu hal yang wajar kalau kita ngomel, kesel, mengumpat petugas evakuasi yang lambat, dan menyesali absensi yang terlambat, dan ini sangat menguras energi kita, tetapi percayalah, semua itu tidak akan mengubah kondisi yang ada (kalau omelan itu bisa mengakibatkan bus melintang itu menjadi tidak melintang, saya sih merekomendasikan agar semua pengendara mengomel bersama aja di jalan tol hehehe).

Mengikuti teknik membalik piring, inilah saatnya yang tepat untuk membalikkan keaadaan, ibarat sebuah piring, balikkanlah permukaan Piring omelan ke permukaan Piring syukur. Daripada ngomel saya lebih memilih bersyukur. Bersyukur karena saya selamat dan tidak mengalami peristiwa yang mereka alami, bersyukur karena saya bisa parkir dan beristirahat lebih lama di jalan tol dengan biaya yang sama, bersyukur karena saya bisa menikmati satu buah judul film dvd yang saya bawa sampai tuntas di dalam mobil, dan segudang syukur lainnya yang dapat menghasilkan energi positif.

Begitu pula dengan permukaan piring kesal, saya balikkan permukaan kesal ke permukaan piring bahagia, saya lebih memilih untuk merasakan kebahagiaan berhenti total di jalan tol tanpa ada yang memarahi anggaplah ini suatu kesempatan yang sangat jarang didapat, rasakanlah kebahagiaan saat tidak melakukan aktifitas apapun di jalan tol bersama pengendara mobil lainnya, dan terakhir saya balikkan piring umpatan kepada petugas yang lambat melakukan evakuasi menjadi do’a yang lebih menenangkan dan bermanfaat secara spiritual. Yah begitulah, saya berusaha menikmati semaksimal mungkin keadaan tersebut secara positif.

Nah itu kalau di jalan tol. Terus kalau kita nyasar di jalanan suatu kota? Kecewa itu normal begitu tutur buku tersebut, tapi akan lebih asyik lagi kalau kita balik piring kekecewaan itu menjadi piring syukur, syukurilah bahwa kita bisa menelusuri jalan yang sama sekali belum kita kunjungi, siapa tahu ada tempat menarik yang dapat kita kunjungi hehehe.
Lantas kenapa saya menulis hal tersebut diatas?

Ini bermula dari buku yang baru saja saya beli di emperan masjid dekat kantor. Sepulang Jum’atan, saya tertarik dengan judul Buku “Spirit of Success- Kisah Sukses di masa Krisis- teleseminar terlaris #1” karangan Brian Tracy.

“Kabar baik adalah kabar buruk yang dapat diubah menjadi kabar baik sewaktu Anda mengubah sikap!”

Begitu salah satu tulisan dalam buku tersebut. Ilustrasi yang disampaikan sangat menyentuh, intinya menceritakan tentang seorang prajurit penerjun payung yang kehilangan tangannya karena kecelakaan sewaktu menjalani latihan pada perang dunia II. Dari pada merenungi tangannya yang hilang, ia lebih berkonsentrasi pada tangannya yang masih ada dan mengubah pandangan atau sikap sesuai dengan keadaan barunya dan mulai menetapkan tujuan hidup baru. Hasilnya? Ia berhasil mendapatkan peran penting dalam film “The Best Years of Our Lives”, dan menikmati karirnya sebagai bintang film Hollywood, memenangkan dua penghargaan, dan menulis otobiografi.

Diakhir tulisan Bryan Tracy menulis:
“orang yang selalu ‘berpikir di puncak’ memilih lebih memperhatikan apa yang di punyai, sementara ‘dunia bawah’ memperhatikan kepada apa yang tidak dipunyai. Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan, kemampuan yang anda miliki , dan bekerja keraslah untuk mencapai cita-cita.

Rupanya teknik membalik piring saja belum cukup masih ada sikap lain yang dapat memberikan hal positif, saya diingatkan untuk harus lebih bersyukur lagi dengan apa yang telah saya miliki, terimakasih Bryan Tracy…

Note: buku ini harganya sangat murah, cuma Rp. 15.000,- maklum beli di emperan jalan. Tapi kondisi buku yang semula mulus dan bersih, saat ini udah mulai keriting, maklum sering dibaca sambil tiduran ampe tidur beneran... keriting dah tuh buku kelindes yang lagi mimpi hehehe.