Entah sudah berapa ratus kali saya melewatinya, Saya dulu sekolah di SD Pajajaran ( 1974-1980) sewaktu SD, saya pulang pergi sekolah selalu melewati pabrik kina, masa kecil kami dilalui bersama bunyi sirene, kepulan asap pabrik dan aroma serbuk kina.
Pabrik yang bertugas mengolah kulit kina ini terletak tepat di sudut kiri-kanan simpang Jalan Pajajaran dan Cicendo Bandung. Pabrik ini sudah menjadi bagian dari pemandangan kami sehari-hari, tidak ada sesuatu yang istimewa. Maklum lokasi Pabrik berdekatan dengan rumah tinggal kami.
Namun hari ini, puluhan tahun kemudian, pabrik kina di mata kami tiba-tiba menjadi begitu istimewa!
Sebenarnya, Setiap mengunjungi rumah Ibu saya, kami sering melewati pabrik, cerobong asap tua Pabrik Kina menjadi saksi bisu mondar-mandirnya mobil kami.
Silmi yang sehari sebelumnya dijanjikan untuk mengunjungi Pabrik Kina menagih Janji. “Pak, ke tempat Pabrik yang ada cerobongnya itu ya pak!” Farhan juga penasaran dengan cerita di buku 'Jendela Bandung' dan ingin membuktikannya, Saya tersenyum melihat tingkah polah kedua anak saya.
Saat melewati Pabrik, Mata mereka berbinar melihat kemegahan cerobong asap pabrik yang semakin menua.
Mobil kami parkir depan koperasi pegawai Pabrik Kina “CINCHONA”. Dulu saya mengira CINCHONA adalah nama yang berhubungan dengan kata CINA, ternyata bukan, Cinchona adalah nama lain dari pohon Kina, di ambil dari nama anak gadis di amerika latin bernama Comtessa Del Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria dan secara tidak sengaja diobati oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu hingga sembuh. karena khasiatnya itu, pohon yang kulitnya digunakan mengobati penyakit demam tersebut kemudian dinamakan Chinchona.
Mobil kami parkir depan koperasi pegawai Pabrik Kina “CINCHONA”. Dulu saya mengira CINCHONA adalah nama yang berhubungan dengan kata CINA, ternyata bukan, Cinchona adalah nama lain dari pohon Kina, di ambil dari nama anak gadis di amerika latin bernama Comtessa Del Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria dan secara tidak sengaja diobati oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu hingga sembuh. karena khasiatnya itu, pohon yang kulitnya digunakan mengobati penyakit demam tersebut kemudian dinamakan Chinchona.
Setelah mobil diparkir, Farhan sudah tidak sabar, Eksplorasi awal kami lakukan berdua. Silmi ditinggal di mobil ditemani ibunya beserta Om dan Tantenya yang masih sibuk mengurusi Azmi anak mereka yang masih berumur dua tahunan.
Karena hari minggu pabrik tidak beroperasi, Pabrik tampak sepi. Untuk lebih leluasa mengeksplorasi salah satu industri tertua di kota Bandung ini, kami memutuskan untuk memindahkan mobil ke depan toko sakura (yang menjual alat kesehatan) dan menengok ibu saya terlebih dahulu.
Saat kami pamit untuk melihat-lihat pabrik, kami ditertawai orang serumah, apa yang mau dilihat? Ya memang seperti itulah pandangan penduduk sekitar, pabrik itu sudah menjadi hal biasa, saking biasanya tidak ada sesuatu yang dianggap istimewa.
Selanjutnya eksplorasi kami lakukan berlima; saya, istri, Farhan, Silmi dan Azmi. Azmi merupakan tim eksplorasi termuda.
Banyak pertanyaan terlontar dari farhan dan silmi, sayang pertanyaan tersebut tidak dapat saya jelaskan secara mendetail, karena berkaitan dengan operasional pabrik.
Dari buku yang saya baca, bangunan pabrik ini merupakan hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W. gaya arsitekturnya art deco, didirikan tahun 1896.
photo udara Pabrik Kina tempo dulu
Bangunannya masih tampak kokoh, dan hingga kini tidak banyak mengalami perubahan.
Pabrik Kina terlahir dengan nama “Bandoengsche Kinine Fabriek”, pada zaman pendudukan Jepang namanya berubah menjadi “Rikugun Kinine Seisohjo”, setelah merdeka perusahaan ini dinasionalisasi, di bawah nama PN. Farmasi dan Alat Kesehatan. Tahun 1971 namanya diganti menjadi PT (Persero) Kimia Farma, dimana Pabrik Kina Bandung menjadi unit Produksi Bandung.
Sambil bernostalgia menelusuri bangunan luar pabrik, saya menceritakan tentang sirene penunjuk waktu dekat cerobong asap. Sirene ini sering kami jadikan patokan waktu tertentu. Ternyata sirene ini, selama lebih dari seabad telah menjadi sahabat setia sebagai penunjuk waktu penduduk sekitar melalui bunyinya yang nyaring. Dalam sehari, sirenenya dibunyikan empat kali, sebagai pemberitahuan waktu kerja, istirahat, dan jam pulang karyawan.
Sebelum tahun 1980, bunyi sirene tersebut berasal dari dua buah ketel uap buatan Babcock & Wilcox. Namun karena ketel tersebut menggunakan bahan bakar residu, maka setiap kali sirine berbunyi, setiap kali itu pula asap tebal (abu pekat kehitaman) membumbung tinggi melalui cerobongnya. Di atas kepala sirene itu sendiri keluar asap putih tebal, mungkin berasal dari uap air, saya mengilustrasikannya seperti ketika merebus air menggunakan ceret yang berbunyi pada saat air mendidih, Cuma ini ukurannya sangat besar. Karena dianggap tidak ekonomis, ketel uap diganti ketel otomatis. Untuk membongkar ketel uap yang lama dibutuhkan waktu empat bulan. Maklum, dindingnya yang terbuat dari baja memiliki ketebalan sekitar dua centimeter. Masing-masing ketel, beratnya sekitar 50 ton. Sangat disayangkan. Ketel uap lama tersebut katanya dijadikan besi rongsokan di tukang besi rongsokan jalan Soekarno Hatta Bandung. Entah bagaimana caranya membantai bekas ketel uap bersejarah tersebut.
Sambil menyusuri Pabrik saya menceritakan tentang rel lori yang digunakan untuk membawa serbuk kina dari bangunan yang bercerobong asap ke bagunan gudang penyimpanan yang ada di seberangnya. Lori yang bermuatan serbuk kina didorong secara manual oleh orang-orang yang sebagian besar tubuhnya terbalut warna coklat serbuk kina, mereka memakai topi mirip tentara Jepang tempo dulu. Disetiap depan Pintu gudang terdapat piringan putar rel yang berguna untuk membelokkan lori ke tempat yang di tuju. Saat ini rel dan piringan putar tersebut sudah tidak ada, lahannya dipangkas pelebaran jalan Pajajaran, kalau tidak salah sekitar akhir tahun 70 an atau awal 80 an. Dulu saya sering bermain di atas piringan putar tersebut. Dua atau tiga orang membentuk lingkaran dengan tangan masing-masing berpegangan di atas pundak yang lainnya menahan agar terjadi keseimbangan dan tidak jatuh saat piringan diputar cepat oleh kaki salah seorang anak.
Kemudian kami menuju sisi pabrik yang berbatasan dengan aliran sungai cikapundung, kami semua berdiri lama di atas jembatan cikapundung menatap ke arah pabrik, mencoba menelusuri masa kejayaan Pabrik Kina di masa lalu.
Sejarah mencatat Pabrik ini mencapai masa kejayaannya sampai menjelang Perang Dunia Kedua. Saat itu Belanda betul-betul menikmati keuntungan yang tidak kecil dari perdagangan kina. Dari sekitar 11.000 – 12.000 ton kulit kering kina yang dihasilkan dari kurang lebih 107 unit kebun kina seluas 18.000 hektar, 4.000 ton diantaranya diolah Pabrik Kina, sisanya sebesar 7.000 – 8.000 ton di kirim ke luar negeri. Sehingga pada abad ke-20 Pulau Jawa menjadi terkenal kerena menghasilkan lebih dari 90% produksi kina dunia.
“Kok Sekarang sepi ya Pak?” Farhan penasaran dengan aktivitas Pabrik yang sepertinya tidak beroperasional lagi. “Lha, ini kan hari Minggu, pada libur kali..” jawab saya. Sekalipun umurnya lebih dari 100 tahun, pabrik kina masih tetap berproduksi.
Untuk memenuhi rasa keingintahuannya, kami semua mengintip di setiap celah pintu besi pabrik, mencoba menggali sisa-sisa kejayaan Pabrik yang masih berdiri kokoh ini.
Tidak cukup celah di pintu besi, akhirnya Farhan dan Silmi, menaiki sisi tembok salah satu bangunan pabrik dan mengintip Isi Pabrik lewat jendela kaca. Azmi berkeras untuk ikut, namun Farhan dan Silmi melarangnya.
Dari kejauhan saya tersenyum, persis di tempat yang sama beberapa puluh tahun yang silam sayapun mengintip aktifitas pabrik di jendela tersebut.
Tulisan yang bagus, mohon izin kopas foto parik kinanya, terima kasih
ReplyDeleteJual Vimax Asli Di Bandung
ReplyDelete