Thursday, April 8, 2010

Menguji Amarah

Ada sedikit tips menarik yang saya peroleh saat membaca cerita “Pengadilan” dalam buku “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”. Buku yang ditulis oleh Ajahn Brahm seorang Sarjana Fisika Teori lulusan Cambridge University yang kemudian memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dalam tradisi hutan Thai ini berisi 108 kisah yang berasal dari pengalamannya sendiri dan orang lain dengan dibumbui kisah klasik tempo dulu mengenai pemaafan, pembebasan dari rasa takut, dan pelepasan yang menyentuh, menggelikan dan mencerahkan.

“Pengadilan” adalah cerita ke 29 dari buku tersebut yang berasal dari pengalamannya sendiri dalam mengungkapkan kemarahannya. Ajahn Brahm bercerita; kalau kita akan marah, pertama-tama kita harus mencari pembenaran bagi kita sendiri. Kita harus meyakinkan bahwa marah itu pantas, tepat, benar. Nah disinilah uniknya cerita tersebut, siapa sih yang bisa dan sempat menguji bahwa marah kita itu pantas, tepat dan benar, paling-paling yang namanya marah yaaa langsung aja marah, maklum udah sampai ubun-ubun,namanya juga lagi nafsu, hehehe.

Ajahn Brahm ternyata punya trik untuk menguji bahwa marah itu pantas, tepat dan benar. Jika kita marah, maka dalam proses batin yang marah, hendaknya marah itu kita uji dalam “Pengadilan” Pikiran kita.

Marah kok diuji, di Pengadilan lagi. Saya jadi ingat Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan di Indonesia disamping Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Kalau kita perhatikan, Salah satu tugas Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Di Mahkamah konstitusi, undang-undang akan diuji apakah proses pembentukan dan materi muatannya telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Lantas bagaimana kalau yang diuji itu Amarah? Apakah akan dinilai juga proses pembentukan dan tingkat kesesuaian amarah kita kepada seseorang, sehingga amarah kita bisa disebut pantas, tepat dan benar?
Namun ternyata Ajahn Brahm mengilustrasikan proses peradilan berkaitan dengan marah dalam cerita “Pengadilan” tidak seperti beracara di Mahkamah Konstitusi, tetapi seperti di peradilan umum pidana biasa sebagai berikut:

Dalam Pikiran kita, terdakwa alias orang yang ingin kita marahi berdiri di atas panggung pengadilan pikiran. Kita adalah Jaksa Penuntutnya, Kita tahu terdakwa bersalah, tetapi supaya adil, kita harus membuktikannya kepada hakim, kepada hati nurani kita terlebih dahulu.

Kita rekontruksi “Kejahatan” yang melawan kita. Kita tuduhkan segala jenis kedengkian, sifat bermuka dua, dan niat buruk di balik semua perbuatan terdakwa. Kita ungkit kembali semua “kejahatan” terdakwa untuk meyakinkan hati nurani kita bahwa mereka tidak pantas untuk dikasihani, sebagai jaksa penuntut, kita sedang dalam proses membenarkan kemarahan kita, kita tidak ingin mendengarkan alasan-alasan yang menyedihkan, penjelasan-penjelasan yang tak dapat dipercaya, atau rengekan cengeng mohon pengampunan. Kita tengah membangun kasus yang meyakinkan, target kita adalah Hati Nurani sebagai hakim harus mengetok palu dan memutuskan terdakwa bersalah! Barulah kita merasa tak apa-apa marah kepada mereka.
Namun Jangan lupa, dalam pengadilan yang nyata, terdakwa juga berhak didampingi pengacara. Dalam cerita tersebut tidak disebutkan secara eksplisit siapa “pengacara” terdakwa, namun sebagaimana halnya jaksa penuntut dan hakim yang keduanya ada dalam diri kita, saya berpendapat pengacara terdakwapun tidak lain adalah diri kita sendiri. Agar adil, pengacara juga harus didengar suaranya. diamlah sejenak, biarkan “pengacara” pembela terdakwa menyatakan pembelaannya, berikan kesempatan kepada “Hakim”, hati nurani kita, untuk merenungkan alasan-alasan dan penjelasan yang masuk akal tentang perilaku terdakwa.

Pertanyaannya adalah, kalau tetap terdakwa dinyatakan bersalah? Marah yang pantas, tepat dan benar bagaimana yang harus kita lakukan?

Sehari sebelumnya kalau tidak salah saya sempat membaca “Wisdom” nya Oke Zone.com mengenai marah dari Arsitoteles, filsuf Yunani (384—322 SM) yang mengatakan bahwa:

"Siapa saja bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, ini tidak mudah."

Pengendalian diri, mungkin begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Aristoteles ribuan tahun yang silam.

Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa saja yang dapat menekan amarah pada saat ia dapat melepaskan amarahnya, hatinya akan penuh dengan kedamaian dan iman kepada Allah Yang Maha Kuasa”.

Kalau saya coba terapkan tips dalam cerita “Pengadilan” ini, sepertinya saya bakal nggak jadi marah, soalnya marahnya keburu reda, habis proses sidangnya lama sih… hehehe.

Sebagai penutup cerita, Ajahn Brahm menuturkan bahwa ia mementingkan indahnya pemberian maaf. Ia menemukan bahwa suara hatinya tidak lagi membolehkan adanya putusan bersalah. Jadi, tidak mungkinlah untuk menghakimi perilaku orang lain. Kemarahannya, karena tidak dicari-cari pembenarannya, akhirnya kelaparan, dan mati.

No comments:

Post a Comment