Friday, May 27, 2011

Cagar Budaya Batujaya Karawang, “Dari Unur Terkuak Candi -Tersingkap Peradaban”

Bagian atas Unur Blandongan sebelum direkontruksi

Senin pagi 16 Mei 2011, saat PNS cuti bersama sehari menjelang libur Waisak, istri mengingatkan janji saya untuk mengajak anak-anak ke situs Cagar Budaya Batujaya Karawang Jawa Barat. Konon situs ini merupakan temuan kompleks candi Budha terluas dan tertua di Pulau Jawa, lebih tua dari Borobudur yang sudah lebih dulu mendunia.

Kami sekeluarga berangkat jam 11 siang. Dari Bekasi kami masuk Tol Timur dan keluar Tol Karawang Barat. Seolah menyambut kami, tepat di pintu keluar tol tampak papan penujuk jalan “Candi Jiwa Batu Jaya 49 Km” Candi Jiwa adalah salah satu candi yang telah selesai di pugar di situs Cagar Budaya Batujaya.


Penunjuk arah tepat di depan Pintu Tol ke luar Karawang Barat


kami meluncur mengikuti arah yang ditunjuk, beberapa kilometer kemudian kami menemui penunjuk arah serupa, penunjuk arah yang tersedia di tiap kilometer tertentu ini sangat mempermudah perjalanan kami mencapai Batujaya.

Batujaya adalah sebuah desa di tepi Sungai Citarum, sekitar 20 km di sebelah barat laut kota Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Batujaya hanya 6 - 7 km dari pantai utara Laut Jawa – tempat bermuaranya Sungai Citarum.

Jam 13.00 kami sampai di lokasi, mobil tidak bisa masuk kompleks candi, setelah mencari tempat parkir, akhirnya kami menemukan pintu terbuka halaman sebuah gedung dengan area parkir yang cukup luas, gedung tersebut ternyata museum tempat menyimpan beberapa koleksi barang kuno situs Batujaya dan sekitarnya.

“Mana candinya Pak? “ Tanya Farhan, di benaknya candi yang dikunjungi tidak jauh berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah yang pernah dikunjuginya. Besar, menjulang dan terbuat dari batu andesit.

“Itu lho yang ada spanduk putih di tengah sawah itu!” saya menunjuk ke arah hamparan sawah, dari kejauhan nampak bangunan kecil dikelilingi spanduk putih yang dipastikan merupakan salah satu candi dari sekian candi yang ada di kompleks cagar budaya batujaya.

Pematang sawah menuju Candi Jiwa


“Hah? Di tengah sawah??”

“Kita kesana lewat Sawah?”

Kami akhirnya menuju candi menyusuri pematang sawah, sepanjang perjalanan ke dua anak saya mengajukan banyak pertanyaan berkaitan dengan keberadaan candi yang letaknya ada di persawahan.

Untungnya sebelum mengajak mereka ke sini, saya sempat searching di internet mencari informasi tentang cagar budaya Batujaya ( beberapa diantaranya http://sius0909.blogspot.com/2010/12/karawang-juga-lumbung-candi.html Dan http://rovicky.wordpress.com/2006/09/18/situs-batujaya-rengasdengklok-mengapa-ditinggalkan/ )

Awalnya di tengah hamparan sawah di Batujaya banyak ditemukan bukit-bukit kecil atau dalam bahasa setempat disebut unur. Berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog, di dalam unur-unur tersebut ditemukan tinggalan-tinggalan budaya dari masa lalu.

Kondisi menyedihkan kompleks cagar budaya batujaya ini mungkin disebabkan oleh kondisi geografis kompleks percandian yang terletak di daerah muara sungai citarum yang setiap saat menerima lumpur kiriman dari sungai citarum yang meluap, sehingga permukaan tanahnya cenderung selalu meninggi. Itu sebabnya sebagian besar kompleks candi berada di dalam tanah hingga kedalaman 1-2 meter saat ditemukan kembali.

Salah satu unur yang belum diekskavasi

Kawasan Batujaya pertamakali ditemukan oleh Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1985 ditindaklanjuti dengan penelitian arkeologi yang mengungkap isi dari unur-unur yang ada di kawasan cagar budaya Batujaya. Sejak saat itu sampai dengan sekarang, penelitian kepurbakalaan intensif dilakukan.

Sayangnya, (menurut Sumber dari Agustijanto I,Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta sebagaimana yang dikutiphttp://sius0909.blogspot.com/2010/12/karawang-juga-lumbung-candi.html) tak banyak ca­tatan tertulis yang mengungkap sejarah Batujaya di masa lalu. Arsip pemerintah Kolonial Belanda hanya menyebutkan, tahun 1684 daerah ini masih berupa rawa tak berpenghuni. Baru pada 1706, Belanda membersihkan daerah ini dan men­jadikannya areal persawahan dan perkebunan. Dengan kata lain, sejak berdiri hingga tenggelamnya kompleks percandi­an Batujaya, baru pada akhir abad ke-17 desa subur ini dihidupkan kembali. Namun, kalau dianalisis le­bih lanjut, kehadiran kompleks pemujaan di hilir Sungai Cita­rum mestinya tidak lepas dari trend pertumbuhan sosial eko­nomi saat itu. Sejak dulu, pan­tai utara Jawa Barat telah men­jadi salah satu pusat lalu lin­tas pelayaran dan perdagang­an internasional. Temuan arke­ologi berupa fragmen tembikar yang dikenal dengan tipe ro­manic roulette di daerah Buni, Kabupaten Karawang misalnya, diduga berasal dari abad per­tama Masehi.

Temuan itu memberi pe­tunjuk bahwa saat itu di wi­layah sekitar pantai utara Jawa barat telah tumbuh permukim­an-permukiman kuno, kelan­jutan dari masa prasejarah. Sekaligus menunjukkan peran­nya dalam lintas perdagangan internasional. Bisa dipastikan, salah satu permukiman itu adalah kompleks percandian Batujaya yang terletak sekitar 6 - 7 km dari garis pantai utara Jawa Barat.

Bukti-bukti tadi menegaskan, pada awal Masehi, sebelum munculnya Kerajaan Taruma­negara, kawasan sepanjang pantai utara Jawa Barat telah memiliki kantung-kantung permukiman kuno. Kantung ini kemudian berkembang menjadi pelabuhan yang berperan ak­tif dalam pertumbuhan sosial, ekonomi, dan politik masya­rakat Sunda Kuno. Perkiraan ini diperkuat ca­tatan Clodius Ptolomeaus dari abad ke 2 - 3 Masehi yang membuat peta perjalanan seraya menyebut beberapa nama dan tempat di Indone­sia, terutama pelabuhan-pe­labuhan dekat Selat Sunda.

Peta Dunia abad ke-2 yang dibuat oleh Claudius Ptolomeaus ( http://the-otherside-of-history.blogspot.com/2011/04/sisi-lain-sejarah-kota-tua-barus.html )

Rata Tengah

Di sisi lain, dari berbagai prasasti diketahui, sekitar abad ke-5 telah berdiri sebuah ke­rajaan Hindu, Tarumanegara. Daerah Bekasi dan Karawang kerap dikaitkan dengan sepak terjang kerajaan ini. Menurut Poerbatjaraka, nama Candra­bhaga yang disebut-sebut da­lam Prasasti Tugu diduga nama sebuah sungai di India yang diadaptasi menjadi nama su­ngai di Jawa. Kajian etimologi nama itu juga menunjukkan kemiripan dengan Bekasi, yang diperkirakan bekas pusat Ke­rajaan Tarumanegara. Berita Cina tertua yang me­nyinggung Kerajaan Taruma­negara dilaporkan oleh Fa­Shien tahun 414 M, menyebut­kan bahwa di Taruma (Yepoti) sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha, tetapi banyak ditemukan orang Brah­mana. Tampaknya, aktivitas perdagangan internasional dan kehadiran Kerajaan Taruma­negara di Jawa Barat bisa di­sebut sebagai motif didirikan­nya kompleks pemujaan Batujaya. Kompleks ini juga dapat dipahami sebagai proses pe­nerimaan masyarakat Sunda Kuno terhadap agama Hindu - Buddha di Jawa Barat.

Hasan Djafar, arkeolog UI, kepala tim penggalian situs Batujaya, menerangkan dengan runtut penemuan situs ini. Penggalian yang telah berlangsung selama 20 tahun lebih ini telah menghasilkan banyak penemuan artefak : bongkah2 bata merah yang kemudian bisa direkonstruksi menjadi candi-candi yang cukup besar, tembikar-tembikar, manik-manik, tablet-tablet tanah liat dan yang mengejutkan dan baru ditemukan tahun 2006 (terutama Juli 2006) adalah penemuan puluhan kerangka manusia yang masih utuh dari tengkorak sampai tapak kaki.

Dua orang perempuan ahli arkeologi berkebangsaan Prancis dan Belanda khusus datang ke situs ini untuk mengekskavasi kerangka-kerangka di situs Batujaya, mengambil beberapa sampel tulang dan gigi dan akan melakukan penelitian DNA atas fosil tulang dan gigi guna mendapatkan data karakteristik ragawi yang lebih lengkap. Metode terbaru dalam arkeologi adalah bahwa pengambilan spesimen fosil suatu ras manusia harus dilakukan oleh ahli arkeologi dari ras yang berlainan. Mungkin, ini untuk menghindarkan kontaminasi saat pengambilan sampel. Karena kerangka manusia di Batujaya diperkirakan dari ras Indonesia, yaitu Mongolid, maka yang mengambil sampel adalah orang2 dari ras Eropa (Kaukasoid).

Penelitian lebih dari 20 tahun ini menghasilkan beberapa kesimpulan sementara, yaitu :

(1) situs ini berumur di ambang pra-sejarah dan sejarah Indonesia (abad ke-4 dan ke-5 Masehi, saat ini batas pra-sejarah dan sejarah Indonesia adalah tahun 400 Masehi),

(2) Candi Batujaya terbuat dari batamerah dan mempunyai ciri-ciri candi Budha,

(3) tembikar dan manik-manik yang ditemukan adalah dari masa Neolitikum,

(4) votive tablets (semacam meterai) dari tanah liat bakar bertuliskan tulisan pendek dalam aksara Palawa.

Setelah menyusuri pematang sawah, kami menemukan jalan yang dibeton, walaupun tidak lebar, jalan ini cukup untuk pengendara motor berpapasan dari dua arah. Ternyata jalan beton ini sengaja dibuat melewati perkampungan menuju candi. Candi yang pertama kali kami temui adalah Candi Jiwa.




Kegiatan pemugaran candi jiwa dimulai pada tahun 1996 dan selesai pada tahun 2001. Candi Jiwa setelah dipugar ternyata hanya memperlihatkan bagian pondasi dan sebagian tubuh candi tanpa ada tangga sebagaimana umumnya candi-candi yang ada di Indonesia, sementara bagian atas atau puncaknya tidak diketahui bentuk aslinya, Hasan Djafar menggambarkan bahwa bentuk candi jiwa yang berdenah bujur sangkar memperlihatkan bentuk seperti bunga teratai (padma), pada bagian atas bangunan candi yang ada saat ini terdapat denah struktur melingkar, diduga sebagai bekas stupa atau lapik arca Budha, sehingga jika dibayangkan akan seperti stupa atau arca Budha di atas bunga teratai yang sedang mekar terapung di tengah telaga. Bentuk candi seperti ini belum pernah ditemukan di Indonesia.

Setelah puas menikmati keindahan dan keunikan candi Jiwa, kami kembali menyusuri jalan beton menuju Candi Blandongan yang masih dalam proses rekontruksi dan dipagari seng.

Candi Blandongan letaknya di tengah persawahan, di sebelah utara Candi Jiwa. Kegiatan pemugaran Candi Blandongan di mulai tahun 1999 dan sampai saat ini (Mei 2011) masih dalam proses. Disana sini tampak tumpukan bata siap untuk direkonstruksi, beberapa diantaranya terdapat bata baru yang ukuran dan bentuknya dibuat persis dengan aslinya untuk menggantikan bata asli yang rusak dan hancur.


Bandingkan ukuran Bata untuk bahan rekonruksi dengan telapak tangan anak saya yang berusia 8 tahun


Ibu Masni, warga setempat yang berjualan makanan dan minuman ringan disekitar candi Blandongan, menerangkan bahwa pemugaran candi tengah beristirahat dahulu menanti kucuran dana berikutnya. Selanjutnya ibu Masni menceritakan bahwa di bawah rumahnya terdapat sebagian pondasi kolam yang diperkirakan merupakan bagian dari situs cagar budaya Batujaya. Kawasan Cagar Budaya Batujaya secara keseluruhan memang tersebar dalam area persawahan dan pemukiman penduduk seluas 5 km2. Pada tahun 2000 diketahui terdapat 24 lokasi yang mengandung tinggalan budaya dan sampai tahun 2010 telah tercatat 30 lokasi situs. Berdasarkan hasil penelitian kepurbakalaan sebagian besar unur di kawasan Cagar Budaya Batujaya mengandung tinggalan berupa bangunan candi yang terbuat dari susunan bata. Bentuk candinya antara satu candi dengan candi yang lainnya berbeda-beda. Seperti misalnya bentuk candi Blandongan dan Candi Jiwa.

Candi Blandongan masih dalam proses rekontruksi


Bentuk Candi Blandongan berbeda dengan Candi Jiwa. Di ke empat sisi Candi Blandongan terdapat tangga untuk menuju selasar candi yang dibatasi pagar langkan. Jika memperhatikan ke empat bentuk tangganya, tangga sisi barat laut memiliki perbedaan dengan ketiga tangga lainnya, karena itu diperkirakan bahwa tangga utamannya adalah tangga sisi barat laut.

Bagian menarik dari Candi Blandongan adalah dindingnya memiliki banyak perbingkaian dengan ornamen berupa pelipit-pelipit, antara lain; pelipit rata dikenal dengan istilah patta, pelipit setengah lingkaran atau kumuda, dan pelipit bergerigi yaitu susunan dua lapis bata yang menonjol dan ujungnya dibentuk meruncing.

Selain itu di salah satu sisi candi terdapat empat buah batu yang diletakkan secara teratur dua di sebelah kiri tangga dan dua lainnya disebelah kanan tangga,

Apakah maksud dan tujuan penempatan batu ini? Dan apakah batu ini peninggalan budaya megalitikum? Wah sayangnya saya tidak mendapatkan informasi lebih jauh tentang batu ini.



Candi Blandongan saat diekskavasi, nampak salah satu batu bergaris yang tetap dibiarkan pada posisinya


Implikasi penemuan situs Batujaya ini sangat penting bagi perkembangan kepurbakalaan Indonesia, khususnya Jawa. Situs di pinggir Citarum ini menunjukkan bahwa masyarakat purbakala Indonesia telah cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban. Keberadaan Candi Batujaya meruntuhkan mitos bahwa di Jawa Barat tidak ada candi lain selain Candi Cangkuang (candi Syiwa) di Leles Garut. Candi Batujaya justru adalah candi yang paling tua di tanah Jawa yang berasal dari abad ke-4 atau ke-5. Juga, Candi Batujaya ini meruntuhkan mitos bahwa candi-candi yang berumur lebih mudalah yang dibangun dari bata merah setelah candi yang lebih tua dibangun dari batuan gunung (andesitik) (model candi Jawa Tengah ke Jawa Timur).

Hari sudah semakin sore, masih ada beberapa situs yang belum kami kunjungi, diantaranya Candi Serut di area pemukiman penduduk dan Candi Sumur yang dinaungi Bangunan Cungkup rumah-rumahan keduanya cukup berdekatan.

Walaupun belum puas karena belum semua situs dikunjungi, kami akhirnya kembali ke museum tempat kami parkir mobil. Sepanjang perjalanan kami memperhatikan ada beberapa unur yang belum diekskavasi, akankah dari unur-unur tersebut kembali terkuak lagi candi-candi yang lain? Entahlah, Kami hanya menunggu sampai kapan situs cagar budaya Batujaya ini tuntas diekskavasi.

Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk melihat koleksi benda kuno di museum, walau koleksinya terbatas, kami seolah diajak untuk bisa melihat sisa-sisa kejayaan budaya Nusantara di masa ribuan tahun silam…



setelah puas, kami menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak menikmati perbekalan makanan yang kami bawa dari rumah. Jam 16.00 kami pulang meninggalkan Karawang menuju Bekasi. Sepanjang perjalanan pulang kami semua terus membicarakan betapa dari temuan ini tersingkap tingginya peradaban bangsa yang sudah dicapai nenek moyang kita ribuan tahun silam.

Perjalanan dari Karawang ke Bekasi mengingatkan saya akan Penggalan bait-bait sajak “Karawang - Bekasi “ karya penyair terkenal Chairil Anwar. Kini dalam dimensi kepurbakalaan penggalan bait sajak itu seolah menggema dalam ingatan saya… jalin-menjalin dalam satu asa di situs Cagar Budaya Batujaya

Krawang-Bekasi

“Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”


(diolah dari berbagai sumber untuk melengkapi hasil kunjungan wisata ke Batujaya)



Rata Kiri

2 comments:

  1. sejarah adalah cermin untuk menggapai masa mendatang. ia memang hanya sebuah sejarah, tetapi sejarahlah yang menjadikan kita berbudaya, bermartabat, memiliki kebanggaan dan menjadi lebih arif terhadap lingkungan....

    ReplyDelete
  2. hehehe makasih udah mampir, jadi inget dulu waktu awal kuliah lebih dari 20 tahun yang lalu kita bertiga sama-sama mengelilingi gedung sate dan mencoba nelusuri sejarah yang mengiringinya... eh kebiasaan ini saya bawa ampe sekarang ama keluarga hahaha.

    ReplyDelete