Kami berangkat dari Bekasi Sabtu sore. Sepanjang Perjalanan tol menuju Bandung, kami diguyur hujan deras. Hujan baru berhenti saat kami mulai memasuki kawasan Pintu tol Padalarang Barat. Kami tiba di Bandung pukul 19.30.
Sebenarnya kami belum begitu yakin apakah Obsevatorium Boscha buka pada malam ini terlebih cuaca dalam keadaan mendung, namun untuk memenuhi rasa penasaran, kami memutuskan untuk tetap mengunjungi Observatorium.
Berdasarkan informasi yang kami baca di buku ‘Jendela Bandung’ walaupun bukan obyek wisata, Observatorium Bosscha memungkinkan dikunjungi publik pada malam hari, waktunya diatur dan bergantung pada kesediaan observatorium.
Observatorium Bosscha terletak di atas bukit di pinggiran kota Lembang. Walaupun lokasinya berada luar kota Bandung sekitar 15 km arah utara, status Observatorium Bosscha tidak dapat dipisahkan dari kota Bandung, karena sejak didirikannya sampai sekarang pengelolaan dan kepemilikannya ada di bawah Technische Hooge School yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung.
Dari Bandung kami bergerak menuju Lembang sekitar pukul 20.15. Walaupun Saat ini malam Minggu, jalanan tidak terlalu macet, sehingga kami leluasa meluncur ke arah utara kota Bandung dengan lancar. Setelah menemui simpang tiga jalan Lembang-Bandung, kami masuk melewati pintu gerbang besi dan menelusuri jalan kecil menanjak yang gelap sejauh kurang lebih dua kilometer.
Photo Udara Komplek Observatorium Bosscha tahun 1930an.
Sumber Photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah
Pemikiran untuk mendirikan Observatorium dicetuskan pada tahun 1920, sejalan dengan berdirinya Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereeniging – NISV (Perkumpulan Ilmu Astronomi Hindia Belanda) yang dipelopori oleh Karel Albert Rudolf Bosscha (K.A.R. Bosscha).
Observatorium ini merupakan sumbangan dari Raja Teh Perkebunan Malabar K.A.R. Boscha dan sepupunya Ir. K.A. Kerkhoven. Kompleks Observatorium dibangun mulai tahun 1922 di atas lahan salah satu puncak perbukitan di sekitar gunung tangkuban perahu (1300 meter diatas permukaan laut). Lahan tersebut hadiah dari keluarga Ursone peternak sapi perah berkebangsaan Italia di Lembang.
Tanggal 1 januari 1923 walaupun bangunan komplek belum selesai seluruhnya, komplek observatorium diresmikan oleh Gubernur Jenderal Mr. D. Fock. Observatorium selanjutnya diserahkan NISV kepada Technische Hooge School . Nama observatorium Bosscha baru ditetapkan lima tahun kemudian, setelah K.A.R. Bosscha meninggal. Pemberian nama Observatorium Bosscha merupakan bentuk penghargaan atas jasa-jasa dan dedikasinya membangun observatorium di Lembang.
Observatorium Bosscha terletak pada lintang geografis yang dekat dengan khatulistiwa. Keberadaan observatorium ini memiliki peran sangat penting karena memungkinkan menyapu belahan selatan dan utara. Pantas jika observatorium Bosscha dijuluki “ Mutiara di Selatan Khatulistiwa”. Selain itu, karena letak bujur geografisnya berada di antara observatorium besar di Afrika Selatan dan Australia, maka Observatorium Bosscha merupakan mata rantai penting dalam jaringan observatorium yang ada di seluruh dunia.
Gedung Observatorium Zeiss di Komplek Observatorium Bosscha tahun 1990an
tampak teleskop Zeiss berbobot 17 ton dengan panjang 11 meter.
Sumber Photo: Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis sebuah Wisata Sejarah.
Sebagai bentuk pengabdian masyarakat, Observatorium Bosscha membuka kunjungan terbatas dengan jadwal sebagai berikut:
Kunjungan siang ;
Selasa-Kamis dibuka tiga sesi : Sesi I 09.00-11.00, Sesi II: 11.00-13.00, Sesi III: 13.00-15.00
Jum’at dibuka dua sesi: Sesi I: 09.00-11.00 dan Sesi II: 13.00-15.00
Sabtu 09.00-15.00
Untuk kunjungan siang, pengunjung dapat:
-mengunjungi teleskop Zeiss (tidak meneropong)
- mendapat info astronomi di ruang multimedia
Kunjungan malam;
Untuk kunjungan malam, hanya diselenggarakan tiga malam tiap bulan dalam bulan April s.d. Oktober.
Jika langit cerah (tidak mendung/hujan), pengunjung malam dapat mengamati bulan & objek-objek lain menggunakan teleskop Unitron dan Bamberg.
Bagi mereka yang berminat mengunjungi Observatorium Bosscha dianjurkan mendaftar terlebih dahulu ke kantor Tata Usaha, atau melalui e-mail: kunjungan@as.itb.ac.id atau telepon.
Karena tutup, kami segera meninggalkan komplek observatorium Bosscha yang tenang dikegelapan malam.
“Pak Kok di sini gelap amat sih?” Tanya Farhan
“Untuk mengamati bintang dan benda langit lainnya memang membutuhkan kondisi gelap Kak, biar maksimal” Jawab saya.
Saat menuruni jalan komplek yang gelap, Sesekali kami melihat dari kejauhan gemerlap cahaya terang lampu kota Bandung dan sekitarnya. Tanpa disadari gemerlap lampu ini merupakan polusi sinar yang mempengaruhi kadar kualitas kegelapan langit. Konon tempat yang dijuluki ‘surga’ peneliti astronomi karena lokasi dan lingkungannya sangat mendukung ini, sudah lama menderita karena polusi sinar. Polusi Sinar ini Makin lama makin berat karena pada malam hari, langit kota Bandung makin terang seiring dengan pesatnya perkembangan Bandung.
Karena belum makan malam, Rombongan kami yang terdiri dari dua mobil bergerak lebih ke utara menuju kota Lembang, mampir di Rumah Makan Ayam Goreng ‘Brebes’ menikmati sajian ayam goreng dan hangatnya segelas susu sapi murni.
Malam semakin larut, secara perlahan Kabut mulai menyelimuti kawasan Lembang. Kami segera meluncur ke Bandung meninggalkan mutiara dari selatan khatulistiwa ‘Observatorium Bosscha’.
No comments:
Post a Comment