“Lupakan Sejenak makanan enak dan Factory Outlet, karena atraksi sejarah alam Bandung yang ditawarkan buku ini, lebih menantang untuk dijajal”.
Begitulah kesan Andi F.Noya seorang jurnalistik/Pembawa acara “Kick Andy” di Metro TV, salah seorang Endors buku “wisata Bumi Cekungan Bandung – Jelajah Bandung masa lalu dan bentang alam masa kini” yang ditulis oleh Budi Brahmanto & T. Bachtiar.
Saya sendiri bersama keluarga sudah beberapa kali menelusuri dan menjajal beberapa lokasi sejarah alam Bandung yang ada dalam buku tersebut, lumayan seru. Nah sekarang, ditengah hiruk-pikuknya Factory Outlet dan restoran kuliner yang saat ini bertebaran di sepanjang jalan Dago, Minggu Jam Sembilan pagi 2 pekan menjelang puasa kami berlima pergi ke ujung utara jalan, menelusuri sepenggal kisah luar biasa yang tersisa dari bentang alam kota Bandung yang layak untuk ditelusuri, Prasasti Thai peninggalan Raja Negeri Gajah Putih yang sangat dihormati, Raja Rama V dan VII!
Ke dua prasasti tersebut masih terpelihara di tempatnya yang asli, Saat ini keduanya dinaungi dua paviliun merah keemasan yang khusus didatangkan dari Kerajaan Thailand.
Curug Dago bagi saya sebenarnya bukan hal yang asing, dulu lebih dari tiga puluh tahun yang lalu ketika masih duduk di bangku SD, saya pernah mengunjungi bagian atas curug Dago, seingat saya dulu airnya sejuk dan jernih.
Curug (Air terjun) Dago, terletak di ujung utara Jl. Ir. H. Djuanda (lebih dikenal dengan nama jalan Dago) dekat terminal Dago, Bandung. Air terjun sungai Ci Kapundung setinggi kurang lebih lima belas meter ini batuan dasarnya terdiri dari basalt yang berlubang-lubang akibat letupan gas ketika lava dari letusan Gunung Tangkuban Perahu masih pijar.
Dengan mengandalkan ingatan masa kecil, sebelum terminal dago saya mengambil arah ke Dago Tea House (Taman Budaya Propinsi Jawa Barat) lokasinya memang sangat dekat dengan taman ini, mobil saya jalankan secara perlahan mencari petunjuk arah “Curug Dago” namun tidak ada, lokasi wisata ini memang tidak begitu mendapat perhatian bahkan untuk sekedar papan petunjuk arah pun tidak ada. Mobil akhirnya saya parkir di Taman Budaya, setelah bertanya sedikit tentang keberadan curug pada pedagang makanan yang sedang mangkal, kami pun menuju lokasi dengan berjalan kaki.
Dari arah jalan Bukit Dago utara, saya menuruni tangga yang lumayan curam, diperlukan stamina yang mantap buat naik turun tangga seperti ini.
Saya dan istri kerepotan mengikuti kecepatan dua anak saya yang sudah lebih dahulu menuruni tangga, sementara si mbak kondisinya tidak terlalu jauh berbeda dari kami berdua, maklum dia memakai sandal yang tidak didisain khusus buat medan securam ini, sendalnya relatif licin cocoknya dipake jalan ke mal hehehe. Baru setengah perjalanan dari arah berlawanan nampak beberapa remaja putri ngos-ngosan mendaki tangga, saya dan istri berpandangan membayangkan nikmatnya mendaki tangga saat pulang nanti.
Setelah menuruni anak tangga yang relatif curam, saya menjumpai pelataran parkir motor yang lumayan luas dan beristirahat sejenak disana.
Dari pelataran ini saya bisa mendengar deru air curug dan melihat bagian atas curug. Dari jembatan yang melintas Cikapundung, terlihat paviliun batu prasasti ada di bagian bawah curug.
Perjuangan turun tangga membuat kami haus, sambil minum teh yang tersedia di satu-satunya warung yang ada disana, saya menyempatkan diri menikmati aliran sungai Cikapundung di balik rindangnya pohon.
Setelah beristirahat sejenak, kami menuju bagian bawah curug melalui tangga yang tidak kalah curam dibanding tangga yang kami lalui sebelumnya, bedanya tangga ini jauh lebih kecil dan agak licin, jaraknya cukup pendek, lucunya, besi pegangan tangganya banyak yang hilang di ambil orang.
Setelah menuruni tangga secara ekstra hati-hati, kami disambut paviliun pertama dan untuk menuju ke arah paviliun pertama saya harus mendaki tangga lagi yang tak kalah curam.
Disalah satu kaca jendela paviliun terdapat semacam piagam yang menceritakan kisah keberadaan prasasti, saya penasaran membaca dan mengintip bagian dalam paviliun.
Ternyata prasasti ini adalah yang kedua sedangkan prasasti yang pertama ada di paviliun berikutnya, dari posisi paviliun ini saya bisa melihat paviliun prasasti pertama yang jaraknya tidak terlalu berjauhan dengan curug.
Curug Dago pemandangannya cukup eksotis, suasana disana sangat sepi, yang terdengar hanya deru air curug dan gemerisik dedaunan pohon. Hangatnya Sinar matahari dan Bau khas pepohonan tropis dalam balutan udara sejuk sekitar curug membuat lelahnya perjalanan menuju curug sirna, kami beberapa saat terpana menyaksikan salah satu bentang alam kota Bandung yang nyaris terlupakan ini.
Didalam paviliun berikutnya, saya mengintip prasasti pertama. Kedua prasasti ini keberadaannya di kupas dalam buku “wisata Bumi Cekungan Bandung – Jelajah Bandung masa lalu dan bentang alam masa kini”
Kedua prasasti yang ada di Curug Dago ini ditulis pada dua bongkah batu dari jenis andesit-basalt, masing-masing berdiameter dua meter. Pada batu pertama terdapat tulisan –menggunakan huruf Thailand- yang diukir oleh Raja Rama V, Raja Negeri Gajah Putih yang sangat dihormati.
Inkripsinya berbunyi: Coporo 34 Ra Sok 120, jika dipanjangkan berarti, Chalacomklao Paramintara = Chulalongkorn (gelar paduka raja), 34 Zaman Ratanakosin 120.
Prasasti ini kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: “Raja Rama V berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan Ibukota Kerajaan Thai Ratanakosin ke-120”. Kerajaan Thai diketahui berdiri pada tahun 1782. Jika demikian, kunjungannya ke Curug Dago adalah pada tahun 1902. Ukiran lain pada batu tersebut adalah berupa bintang segilima dengan inkripsi berbunyi: vachira wudha
Namun jika melihat biografi singkat Raja Rama V, penafsiran 34 sebagai umur sang raja saat berkunjung ke Bandung, ternyata tidak tepat. Dengan asumsi dia lahir pada 20 September 1853 (wafat pada 23 Oktober 1910 di usia 57), maka pada 1902, usia sang raja seharusnya 49.
Sementara pada batu kedua, terdapat tulisan dalam huruf Thailand juga, yang diukir oleh sang penerus yaitu Raja Rama VII. Inkripsinya berbunyi: Poporo Bu Sok 2472. Artinya: Prajatipok Paramintara, Tahun Budha 2472 (atau tahun1929). Prasasti ini menjadi acara napak tilas dari penerus raja berikutnya ke Curug Dago, 27 Tahun kemudian.
Apa daya tarik Curug Dago dan Bandung sehingga mendapat kehormatan dikunjungi dua raja besar Thailand? Bandung di tahun 1902, baru sekedar dihuni penduduk yang tinggal di kampung-kampung kecil di tepi Cikapundung. Daerah sekitar Curug Dago pun masih hutan lebat. Pastinya ada sesuatu sehingga raja besar dari Negara tetangga jauh-jauh datang ke Bandung yang masih belantara.
Bisa dibayangkan setelah seratus tahun lebih kunjungan raja suasananya sudah banyak berubah, di atas curug terdapat pemukiman penduduk yang cukup padat, bahkan sampah banyak ditemukan disepanjang aliran Cikapundung.
Setelah puas menikmati suasana Curug Dago plus melihat kedua prasasti raja Thai, kami kembali mempersiapkan energy dan stamina yang cukup untuk bisa sampai ke lokasi parkir mobil di Taman Budaya. Tangga disekitar prasasti memang selalu basah mungkin disebabkan mata air kecil sekitar tebing yang merembes melewati tangga, yang jelas perjalanan pulang diawali dengan menuruni tangga seperti ini
Dari balik tebing terdengar beberapa mahasiswa menuju prasasti, kami berpapasan dan suasana sepi pun berganti dengan keceriaan sekelompok pemuda dan pemudi yang saling bersahutan memanggil temannya untuk berhati-hati menuruni tangga. Sementara itu, saya mencopot sandal dan memilih untuk telanjang kaki mendaki tangga meninggalkan sepenggal kisah sejarah yang luar biasa di Curug Dago.